03 January 2014

The So-Called Married Life



Ehm... kami nikah baru 6 bulan tapi rasanya cukup banyak juga yang kami jalani, the ups and downs yang selalu ada tiap bulannya: berantemnya, nangisnya, keselnya, senengnya, gemesnya, lucunya, terharunya, belajarnya, dll. 

Di bulan Juli, bulan pertama kami nikah, om saya kena stroke lalu meninggal, dan rumah oma kerampokan. Semua terjadi dalam kurun waktu 3 hari. Quite stressful buat keluarga kami terutama buat mama yang paling sibuk dari awal om pingsan di rumah oma, manggil ambulance, nungguin di rumah sakit, mengabari anak-anak om di Tangerang, sampai mengurus pengkremasian. Saya merasa bersyukur ada Tim yang menemani saya ke Bandung. Keluarga besar yang berdatangan dari Jakarta dalam tempo singkat membuat kami benar-benar merasa disupport, terutama oma yang baru pertama kali harus ditinggal mati oleh anaknya. Apalagi sepulangnya kami dari lokasi krematorium di Cikadut, kami menemukan rumah oma sudah dibongkar pencuri dan semua perhiasan oma diambil. Nilainya mungkin tidak seberapa, tapi semua itu adalah jerih payah oma menabung dan mengumpulkannya. Nilai sentimentilnya luar biasa. Di balik kesedihan itu, ada kejadian lucu juga, di mana oma menceritakan bahwa si om mengaku sedang dekat dengan Sandra Dewi beberapa bulan sebelum kematiannya. Luar biasa absurdnya sampai nggak tahu musti ketawa atau meringis.

Tiga bulan pertama pernikahan kami, saya tidak bekerja. Dinafkahi suami tuh rasanya lucu juga. Nggak biasa. Terharu. Manis getir. Manis karena senang. Getir karena ga tega. Kok kayanya dia yang kerja keras dan kecapekan naik bus Tangerang-Jakarta setiap hari, terus saya tinggal menikmati. Kerjaan saya di rumah ya cuman masak, bongkar barang-barang pindahan, dan bersih-bersih. Tiap hari lantai dipel mengilap. Kadang kami beli furniture baru dan saya jadi mandor pemasangannya. Setelah ditimbang dan dipikir, saya memutuskan mencari pekerjaan supaya nggak bosan di rumah dan sekalian meringankan beban suami. Tambahan penghasilan tentunya memudahkan kami kalau mau berlibur atau beli kebutuhan tersier. Hati ini juga ingin bisa ngirim ke ortu setiap bulannya, dan kok rasanya ga tega banget kalo mintanya ke suami.

Puji Tuhan di akhir September seorang mantan klien menawari saya pekerjaan di bagian akunting perusahaannya. Saya bahkan belum sempat mengirim lebih dari 2 CV. Lokasi kantornya kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah.

Selama empat bulan pertama, saya ngebet banget kepingin hamil. Kasihan juga sih suami, dia juga pingin banget tapi nggak ngoyo kaya saya. Jadinya dia suka ga tega lihat saya tiap bulan kecewa yang kadang sampe nangis. Sekarang sih saya udah belajar nrimo, semoga Tuhan lekas jadikan kami layak menerima titipan anugerahnya.

Bahagianya selama berumah tangga juga banyak. Kalau saya sakit ada yang beliin obat dan makanan, nemenin dan nepuk-nepukin. Kayanya udah 20 tahun deh ga dimanjain hahaha... Tiap pagi dan malam juga ada yang kasih peluk cium. Kalau weekend bersih-bersih dibantuin. Kalau dia sempat, setiap pagi dan malam suami bantu cuci piring, jadi saya tinggal cuci peralatan masak sebelum dia sampai rumah. Dan yang paling menyenangkan, saya merasa bisa 'bertengkar' atau berbeda pendapat dengan sehat sama suami.

Kami cukup sering ngambek; bisa sebulan sekali. Biasanya karena salah paham dan kecapekan. Spesifik buat si suami, karena kelaparan. Perut karetnya itu memang nggak kuat nahan lapar. Pernah saya dicemberutin karena saya ketiduran dan nggak cek lagi setelah listrik mati sehingga knop rice cooker turun ke posisi menghangatkan, bukannya memasak. Saya jadi sebel juga dong; saya juga kecapean membersihkan seisi rumah dan prepare acara tahun baruan (yang mana cewenya cuman berdua dan saya cuman sendirian bersih-bersih). Kok saya jadi kaya kacung dia.
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, dia ngambek ya bukan karena ga respect sama saya. Sebagian besar karena lapar selalu bikin dia bad mood. Mungkin juga karena cara kami dibesarkan berbeda. Di rumah saya, begitu anak-anak lulus SD kami harus bisa siapkan makanan sendiri kalau ortu sedang istirahat. Masak mi kek, hangatkan nasi dan sayur kek. Papa juga bisa masak, jadi ga perlu mengandalkan mama. Di rumah dia, semua anggota keluarga tinggal nunggu disodorin piring sama mamanya. Makanan tuh jadi tanggung jawab mama/istri.
Pernah juga dia ngambek karena saya salah baca peta. In my defense, waktu itu GoogleMapsnya memang ngaco hahahaa...

Yang namanya nikah, akhirnya saya harus belajar mengalah. Belajar berkomitmen untuk melayani. Belajar berkomunikasi tanpa kemarahan supaya bisa berkompromi dan semua senang. Padahal semasa gadis saya ini cuman mau bersihkan kamar sendiri, ogah belajar masak. Harga diri saya juga tinggi, ga suka diremehkan dan ga mau mengalah. Maunya dinomorsatukan. Maunya dihargai.
Tapi saya ingat-ingat nasehat pastor yang menikahkan kami: menikah berarti berhenti memikirkan kebahagiaan diri sendiri, dan mulai mengutamakan kebahagiaan pasangan.
Bagus ya nasehatnya? Sayangnya susah dijalankan. Tapi saya yakin bisa. Asalkan kedua belah pihak sama-sama mengusahakannya, seumur hidup.