10 March 2016

Random Thoughts - Feb 2016



Gara-gara bedrest (ya sebenernya ga beneran berbaring di kasur sih, kadang di sofa, banyak juga jalan ngambil cemilan dan ke kamar mandi buat hoek hoek hahaha), jadinya aku kebanyakan mikir deh. Apalagi sempat ada kejadian mengerikan pengeboman dan penembakan di Thamrin. Puji Tuhan saat itu suamiku lagi nggak ngantor di Sudirman jadi aku ga terlalu waswas karena sempat beredar hoax bahwa pengebomnya kabur naik motor ke arah Semanggi membawa senjata api. Di sosmed, para netizen langsung mencurahkan emosi dalam bentuk hashtag, cuitan, dan meme. Namanya juga Millenials (tertawa getir karena I’m included). Mulai dari #KamiTidakTakut, #JakartaBerani, tukang sate yang tetap laku berjualan di dekat lokasi pengeboman, ngetawain teroris ISIS sampai ribut-ribut soal polisi ganteng fashionable yang berlangsung sampai malam. “Dangkal,” kata beberapa orang, “mudah dialihkan”. Tapi menurutku, itu reaksi yang manusiawi. Ketika tidak langsung terlibat atau menjadi korban dalam suatu peristiwa buruk, manusia cenderung mencari hal untuk mengalihkan kesedihan dan rasa takut mereka. Humor adalah salah satu skill untuk bertahan hidup, untuk mencegah rusaknya jiwa, walau batas humor yang bisa diterima dengan humor yang tidak sensitif menjadi sangat kabur karena sifat subjektifnya.

Menurutku pribadi, #KamiTidakTakut bukan berarti kita sepenuhnya tidak perlu merasa takut. Rasa takut adalah salah satu insting dasar manusia buat bertahan hidup. Lihat aja bayi, salah satu hal yang pertama dia rasakan adalah rasa takut. Rasa takut membuat manusia menghindari hal-hal yang membahayakan nyawanya. Ketiadaan rasa takut malah bisa berakibat kita menjadi lengah, jumawa, dan akhirnya mati konyol. Aku lupa ini quote dari siapa, tapi ada yang bilang bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut tapi kekuatan untuk melawan rasa takut itu sendiri. I agree.

BTW, di Alkitab katanya frase ‘Jangan takut’ disebutkan 365 kali lho (maaf, nggak pernah ngitung sendiri dan nggak pernah khatam baca Alkitab hehehe). Kalo menurut penafsiranku, Tuhan juga nggak bermaksud menyuruh manusia supaya tidak merasa takut sama sekali, tapi untuk menyerahkan ketakutan kita kepada-Nya. Kan Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang lebih besar daripada yang sanggup kita terima ya…

Terus aku jadi kepikiran 7 Deadly Sins menurut ajaran Kristen (karena otak makin melantur). Kemalasan. Amarah. Kerakusan. Ketamakan. Cemburu. Nafsu. Kesombongan. Mana yang masih mengikatku yah? Dulu mah mungkin envy, misalnya sirik ngelihat orang lain jalan-jalan ke luar negeri melulu, sirik lihat artis yang tenar untuk alasan gaje bisa beli rumah mewah dan mendapat endorsement produk-produk keren (LOL ini pasti nggak cuman gue yang ngalamin, hayo pada ngakuuu!), dan schadenfreude alias ngetawain penderitaan orang lain. Tapi yaa ntahlah, sejak punya anak aku lebih ngerasa somehow fulfilled aja. Rasanya ya ‘tiap orang udah ada rejekinya masing-masing’ tuh bener dan ga kerasa sirik kalau orang lain kelihatan happy. Toh aku juga bahagia, apa yang mau disirikin?

Rakus sama tamak juga kayanya sih aku nggak, yah secukupnya aja lah… Cukup kenyang, cukup enak, cukup puas hehehe… Amarah juga hampir nggak pernah, paling setahun sekali lah. Tapi kalau aku marah nyeremin lho, makanya jangan macem-macem. BTW kalo manyun, bete, ngambek mah sering, tapi masih terkendali. Amarah ini dosa yang kayanya enteng dan wajar terjadi tapi paling mudah merusak hubungan keluarga lho, ngeri. Soalnya ketika marah, kita bisa mengucapkan kata-kata jahat ke orang yang kita sayangi. Tahu nggak penelitian tentang tumbuhan yang jadi busuk ketika dimaki-maki dan jadi sehat segar ketika dipuji dan disayangi? Kalau tumbuhan aja punya perasaan, apalagi hati manusia.

Nah layaknya manusia lain, saya juga tetap punya dosa kok. Dosa yang masih mengikatku mah pastinya KEMALASAN! Mbwahaha…  Procrastination itu menyenangkan yaa, gimana doong? Ini masih butuh effort nyembuhinnya.

Oya, masih ada lagi dosa nafsu. Ini juga nyeremin dan life-ruining. Pemerkosaan. Perselingkuhan. Sampe bawa-bawa dukun santet. Pedofilia. Ngomong-ngomong perkosaan, Tahun Baru 2016 lalu terjadi pemerkosaan massal di Eropa. Yang paling ramai diberitakan tentu saja yang di Jerman, karena korban dan pelakunya mencapai ratusan (atau bahkan ribuan) orang. Mengerikan, perempuan-perempuan yang sedang berjalan menuju tempat merayakan tahun baru (bersama keluarga, teman, bahkan pasangan mereka) diserang oleh banyak orang sekaligus, ditelanjangi atau dibuka paksa pakaian dalamnya, dan segala ‘celah’ di tubuhnya dimasuki jari dan entah apa lagi oleh orang-orang jahanam itu.

Tentunya sulit dipungkiri efek pengungsi dari Timur Tengah ke Eropa. Susah ya kalo urusan refugee gini. Saya sendiri pendukung bantuan kemanusiaan buat para pengungsi (baik itu Syria, Rohingya, dll) tapi sepertinya memang perlu ada batasan-batasan karena adanya perbedaan nilai budaya. Berkenaan pengungsi ini, mungkin next time saya bahas, mungkin juga ga akan saya bahas karena saya ga punya solusinya dan takut malah dikira rasis.

Yang lebih menarik minat saya yaitu dalam ramainya pemberitaan tentang hal ini, masih ada lho yang bilang bahwa penyerangan itu bukan pemerkosaan! Alasannya? Karena tidak terbukti adanya penetrasi alat kelamin. Eh woyyy!!! Langsung stress deh aku rasanya. Itu yang ngomong pasti laki-laki goblok. Kalau itu perempuan yang ngomong, wuaahh… gobloknya ga ketulungan. I’m not sorry for being rude. 

Pemerkosaan itu adalah tindakan seksual yang tidak konsensual. Mau masukin jari ke pantat kek, mau penis dimasukin ke mulut instead of vagina kek, atau apapun bentuknya, emangnya itu cewe-cewe setuju? Yang kaya gini nih hasil men-taboo­-kan pendidikan seks. Pola pikirnya jadi picik dan tidak punya empati. Padahal, buat seorang perempuan, ‘sekedar’ diraba (bahkan di tangan atau organ lain selain pantat, boobs & vagina) oleh orang yang tidak dia inginkan tuh udah suatu bentuk serangan seksual dan bisa menimbulkan trauma lho. Dipaksa ‘melayani’ suami ketika si istri tidak mau pun udah bentuk pemerkosaan. Pemerkosaan terhadap laki-laki oleh pelaku perempuan juga ada lho. Sayang banyak yang nggak tahu itu. AKIBAT KURANGNYA PENDIDIKAN SEKS! *menghela napas panjaaaang sekali*

Hal lain yang sering dikaitkan dengan dosa hawa nafsu adalah LGBT. Naahhh… pas lagi rame banget nih ya akhir-akhir ini. Pendapat mayoritas masyarakat Indonesia, tentu saja, menentang keras LGBT. Saya sendiri? Miris.

Yah gak tahu lah… saya ini memang kurang dalam mempelajari agama, tapi saya nggak mau menuduh orang lain ‘berdosa’ ketika saya sendiri pun bukan makhluk suci. Apakah saya menganggap LGBT termasuk dosa NAFSU? Jujur saja, nggak. Nggak, kalau si LGBT tersebut nggak terlibat dalam pemerkosaan, seks bebas atau perselingkuhan (sama aja kaya orang straight, menurutku). Dan please… kenapa juga sih LGBT suka dikaitkan dengan pedofilia? Kalau pedofilia mah ya iya lah jelas banget salah… memanipulasi anak kecil untuk kepuasan seks pribadi. Malah memang sepantasnya masuk kategori kelainan jiwa. Tapi kalo LGBT mah menurutku (yang awam dan ga religious ini) udah dari sananya. Bukan pilihan, bukan penyakit. Dan jelas ga menular. Kalo ada yang bilangnya tertular karena waktu kecil digrepe om-tante atau apalah, menurutku ga bisa digeneralisir yah. Teman-temanku yang LGBT nggak ada yang hasil ‘penularan’. Kalau memang LGBT itu menular, pasti suamiku udah ketularan hahahah… secara teman-teman dekatnya waktu kuliah juga LGBT. Makanya aku ga ngerti kalau ada istilah 'propaganda LGBT' untuk menyebarkan 'virus LGBT'. Whaattt?

Menurutku lagi, kalau pun ada yang tertular, itu karena memang dalam dirinya udah ada potensi ke sana. Yep, aku percaya pada teori spektrum seksualitas, di mana ada manusia yang nggak 100% heteroseksual ataupun 100% homoseksual. Banyak binatang pun menunjukkan perilaku tersebut. Misalnya, ada orang yang punya ketertarikan pada sesama jenis, walau dia pun tertarik ke lawan jenis. Banyak yang bilang istilahnya biseksual, tapi menurutku dalam spektrum seksualitas, istilah ini terlalu menggeneralisir. Contohnya gimana? Ya mungkin kaya diriku. Ketertarikan seksual ke lawan jenis itu so far cuma sama suamiku, puji Tuhan. Dan aku lebih suka lihat badan perempuan daripada laki-laki hahahaha! Perempuan tuh cantik, indah, enak dilihat. Laki mah jijay hahahaa… Malah kalau lihat cewe cantik di mall, aku yang kagum, bukan si pak suami hahahahaa… Tapi bukan berarti aku pengen berhubungan seks sama perempuan lho. Nah ‘normal’ kah diriku atau layak dikategorikan LGBT? Hayo…

Satu lagi dalam teori spektrum seksualitas: seksualitas kadang tidak bersifat permanen pada beberapa orang. Makanya bisa ada kejadian orang yang kelihatan straight tiba-tiba ‘coba-coba’ dan yang tadinya LGBT ‘insyaf’. Istilah yang kuberi tanda petik itu tandanya aku sendiri nggak sreg sama penggunaannya di media yah.

Yah, di luar perdebatan kewajaran LGBT atau dosa-tidaknya LGBT (itu mah ranah lain dan boleh dibilang nggak akan ada titik temunya yah antara kedua pola pikir tersebut), ada satu hal yang sangat bikin aku miris. Yang namanya orang-orang yang ngaku beriman kok begitu mudahnya ya menistakan, melecehkan, merendahkan sesama manusia hanya karena LGBT? Iya tahu, mungkin sebagian karena rasa takut, tapi terpikir nggak sih kalau orang-orang yang dibilang ‘menjijikkan’, ‘sakit jiwa’, dll itu tuh adalah manusia juga? Manusia yang punya perasaan, punya hati? Manusia yang juga punya ibu, seperti kita semua, yang mungkin sedang menangisi nasib anaknya yang dinistakan masyarakat?

Coba deh baca komik IS. Iya, judulnya IS, kependekan dari Inter Sex. Cari tahu soal anak-anak yang dilahirkan dalam kondisi jenis kelamin yang nggak sedeskriptif konteks umum, and yes, they were BORN that way (kelainan genetis dsb). Sedih banget, kebayang kalau anak, adik, keponakan, atau diri sendiri yang ngalamin kaya gitu. Mereka terlahir demikian. Nggak sesuai ‘norma’ yang berlaku, tapi demikian adanya kondisi biologisnya.

Menurutku nggak ada bedanya sama kaum homo-biseksual. Mereka juga mengalami pergumulan sendiri, dan pergumulan itu nggak mudah. Kalau kita malah menistakan mereka, apa nggak makin kacau jiwanya? Ibaratnya, yang tadinya pingin ‘sembuh’ pun menjauh dari lingkungan asalnya, terutama dari lingkup religius yang keras menolak dirinya, dan membentuk komunitas sendiri. Ehh, udah begitu pun, masih dituduh komunitasnya tersebut mempropagandakan LGBT. Cape banget, kebayang nggak sih hidup kaya gitu, apa nggak kasihan. Puji Tuhan, saya ada teman gay yang masih mau beribadah dan menyerahkan dilemanya kepada Tuhan.

Lalu coba deh bayangkan. Misalnya kita sehari-hari berkomentar dengan ringan di depan anak-anak kita ketika melihat homoseksual bergandengan tangan atau di TV ada transeksual, “Jijik ya ih, amit-amit deh!” apalagi kalo ditambah, “Kalau itu anak Mama, udah Mama buang kali!” atau sejenisnya. Bayangkan, si anak yang sering mendengar itu, kemudian mengalami pergumulan tentang orientasinya, tapi dia takut buat terbuka ke orang tuanya. Akhirnya dia malah kabur atau menjauh dari orang tuanya. Nggak bisa dibantu dan orang tuanya sendiri ga membantu. Nggak bisa menjadi diri sendiri di depan orang tuanya karena takut orang tuanya membenci dia. Sedih banget.

Saya sendiri sih, jujur saja, berdoa supaya anak-anak saya straight, bukan karena saya nggak mau menerima kalau mereka ternyata bukan, tetapi karena ngeri dan nggak tega membayangkan perlakuan yang akan mereka terima dari orang lain. Tapi kelak, andai ternyata mereka berbeda dari konformitas masyarakat, saya berharap mereka bisa mendatangi papa mamanya dan tahu bahwa sebeda apapun mereka, kami mencintai mereka tanpa syarat.

Buat para antigay yang menganggap bahwa LGBT itu penyakit, apa kalian akan membuang anak kalian yang sakit dan cacat? Kalau iya, yowis saya udah ga sanggup bilang apapun lagi. Saya nggak doakan anak-anaknya Hafidz Ary dan sebangsanya (anti-gay yang radikal) itu punya anak LGBT yah, no… kasian anaknya. Tapi semoga ya hati mereka bisa terbuka bahwa Tuhan Allah mengajarkan kasih ke sesama manusia, di luar anggapan KITA bahwa orang lain itu berdosa atau tidak. Kita bukan Tuhan yang boleh mengadili orang lain, kita tuh cuma seupil debu di dunia ini. Be loving, people.

FYI, sesuai yang namanya kebebasan berpendapat, saya ga melarang orang untuk berpikir dan berpendapat menentang LGBT, tapi saya anjurkan berpendapatlah dengan kasih. Ga perlu lah ngetweet nyuruh followers membully LGBT minimal sekali setiap hari. Saya rasa Tuhan nggak akan menyuruh umat-Nya begitu.

Oya, di atas tadi sempat saya ngomong pendidikan seks. Ini cukup ngeri ya di Indonesia, karena rasanya masih ditabukan banget. Anak-anak jadi mencari jawaban di tempat yang salah. Lucunya logika fundies (mayoritas pemimpin bangsa), mereka malah larang dan sensor aja dulu, bukan edukasi anak-anaknya. Pada ga tau kah psikologi manusia: semakin dilarang, semakin ingin tahu. Lihat aja anak batita, dibilang 'jangan' malah makin sengaja kan? Katanya disuruh membudayakan ASI dan menormalisasi menyusui sampai usia anak 2 tahun, tapi gambar memerah puting SAPI saja diblur! 

Berkali-kali saya lihat perempuan diblur di bagian dada, saya kira bajunya vulgar banget kaya apa, taunya pas lihat fotonya di internet: dia pakai blus berkerah sabrina! Elah... lebay amat. Apa bukannya sensorship berlebihan begini yang bikin anak-anak lelaki tumbuh jadi pria yang pura-pura alim tapi begitu lihat bahu perempuan aja langsung ngaceng? Hih. Kalau saya punya anak laki-laki, saya pinginnya dia jadi gentleman yang tahu diri untuk mengalihkan pandangan dari dada atau organ vital perempuan, bukan yang lantas freaked out. Begitu juga anak perempuan saya, pastinya saya pingin ajari untuk berpakaian pantas dan tertutup.

Maaf-maaf aja buat yang antimiras, saya juga ga setuju kalau miras sepenuhnya diblokade. Yang penting adalah pembatasannya dan edukasinya. Kalau ada yang mabuk terus nyetir mobil dan nabrak orang sampai mati, menurutku yang salah ya orangnya, kenapa mabuk masih nyetir? Asshole banget. Saya sendiri bukan penggemar alkohol; bisa lah hidup tanpa alkohol, tapi sebagai manusia saya merasa dilecehkan kalau dianggap tidak bisa membatasi diri sendiri sampai segala sesuatu dilarang-larang sama negara.

Lucunya orang-orang ini, hal yang mustinya dilarang malah diberlakukan: pernikahan dini. Batas usia minimum untuk menikah di Indonesia saat ini adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 (atau 18 ya?) untuk laki-laki. Yep, 16 FUCKING YEARS. Tahu apa sih anak umur 16? Sorry ya, ga maksud nyombong, tapi untuk diriku sendiri (yang menurut beberapa teman sih lebih mature dari rata-rata, mungkin karena kondisi ekonomi keluarga saat itu), umur 16 tahun tuh aku masih labil, egois, dan irresponsible. Totally not fitted to procreate dan ngurus keluarga! Dan menikahkan anak di usia semuda itu memperkecil kemungkinannya untuk melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi (bahkan mungkin tidak akan lulus SMU). Malah kemungkinan komplikasi saat mengandung dan melahirkan jadi meningkat, begitu juga angka perceraian. Kapan dong kita jadi negara maju?

Sayangnya, masih banyak petinggi agama dan kaum intelektual yang menentang peningkatan batas usia nikah tersebut (padahal yang diajukan, kalau ga salah, hanya nambah 2-3 tahun, setidaknya cukup bagi si anak menuntaskan SMU). Malah seorang psikolog kenamaan kesayangan banyak ibu menjadi saksi ahli MUI dan bilang gini, “Akibat pornografi anak-anak sudah melakukan hubungan seks pada usia dini, jadi kalau usia pernikahan ditingkatkan maka akan banyak sekali risiko (perzinahan) yang akan terjadi karena pengaruh itu tadi.” Beritanya bisa dibaca di link BBC ini dan banyak situs lainnya.

Ummm, apa ga lebih baik meningkatkan pendidikan seks? Jadi, orang tua lebih milih pernikahan anaknya punya 50% kemungkinan cerai daripada mendidik mereka supaya nggak melakukan hubungan luar nikah? Terus, tugas ortu tuh apa sih? 

Malah suamiku jadi kesel sama si psikolog tersebut, pokoknya jangan harap dia bakal mau datang ke seminar parentingnya si ibu tersebut hahaha... Kata paksu, "Apa nggak kontradiktif? Dia sendiri yang seminarin soal Cinderella Complex & Peter Pan Syndrome yang banyak mengakibatkan perceraian pada pasangan muda, tapi dia sendiri mendukung pernikahan dini? Bukannya itu orang-orang jadi gitu karena menikah sebelum sempat mendewasakan diri?" Hehehe ya kalo nggak gitu, pasiennya berkurang kali cyiiin... auk ah. 

Emang sih, psikolog ini malah bilang bahwa pola asuh orang tualah yang menyebabkan sindrom-sindrom itu muncul. Aku sih sepikiran sama paksu, bahwa itulah yang terjadi ketika orang menikah sebelum mendewasakan diri. Kalau umur 16 udah nikah, ya eyalaah... Kami nikah aja almost 29 dan masih ada dikit-dikit konflik dalam rumah tangga. Memang sih umur ga menentukan kedewasaan, tapi berapa persen sih anak umur 16-18 tahun yang sudah siap mental buat berkeluarga?

Sorry yaaa buat para penggemar ibu psikolog tersebut... Teman-teman saya pun seringkali share soal beliau di WA dan FB. Saya mengakui kok beberapa teori parenting beliau ada benarnya, tapi dalam hal ini, prinsip beliau kontradiktif.

No comments:

Post a Comment