31 August 2015

Baby L's 1st Birthday: BEE DAY with TheUrbanMamas August 2014 Birth Club (Part 1) - MERCHANDISE

Masih ingat ceritaku soal birth clubku?

Nah para mommies di The Urban Mama August 2014 Birth Club sudah mulai menyebut-nyebut keinginan mengadakan kopdar akbar buat merayakan ultah pertama babies imut kami sejak bulan Februari 2015 dan di bulan berikutnya kepanitiaan tak resmi pun terbentuk. Koordinatornya adalah Mom Dini yang membuatkan check list persiapan, selaku 'senior' dalam acara per-birthclub-an. Mommies lain berbagi tugas dan sepakat untuk membawa pot luck  berupa souvenir, dekorasi, mainan dan berbagai makanan yang nyummyyy! Kami berbagi tugas untuk memesan cupcake, cakepop, tumpeng, goodiebag, dan kaos buat para babies and their siblings. Mom Winda pun menawarkan 'venue' berupa pendopo di rumah orang tuanya di Bogor yang sangaaat cozy! Para mommies pun dengan semangat mengumpulkan sponsor sejak bulan Juni! Good job, mommies! (^^)b

Tema yang kami tentukan adalah BEE DAY! Kenapa? Jawabannya dikutip dari Mom Nana:
Karena simpel aja, berhubung ulang tahun ini berdekatan dengan Lebaran, makanya tema yang pas adalah Beeday Party dan Halal Bee Halal! Selain itu, lebah juga merupakan hewan yang paling banyak manfaatnya. Saking banyak manfaatnya, madu itu disebutkan di semua kitab suci sebagai obat, keren berat!

Gambar maskot untuk acara Bee Day ini didesain oleh Ichan papanya Arsy. Kaya gini bentuk undangannya, lucu ya!


Papa Ichan juga membuatkan desain backdrop yang diprint di kain spanduk tebal supaya manteb. Backdrop ini nantinya dipakai buat latar foto setiap keluarga.
Sampai harus diikat pakai tali tambang supaya nggak rubuh hehe...

Nah selain memesankan cupcake dan popcake ke Delightfully Cake (a very talented friend of mine and an absolute Cumberbitch LOL), aku juga membuatkan Bee Day Card buat tiap baby. Kaya gini nih tampilan kue dan cardnya:

Bee cupcake; dipak satu per satu untuk masuk goodie bag
Bee popcake; saking lucu sampe sayang makannya!

Nama lengkap dan tanggal ultah para babies tentunya ga di-disclosed di mari yaa...

Idenya adalah menempatkan foto usia setahun tiap bocah karena rasanya amazing yaa pertumbuhan bayi dalam setahun! Mengharukan rasanya melihat babies kami mulai dari yang paling tua (Bosbara) sampe paling piyik (Zidniboy), dari yang berat lahirnya paling kecil (Ahnaf) sampe yang paling gembil (Khay), dari Apin yang sekarang paling imut sampe Euis yang sekarang paling embrot. Pada hari H, semua bee day card dipajang di karton dan ketika acara berakhir, bee day card bisa dibawa pulang oleh tiap baby bersama goodie bagnya.

Goodie bagnya sendiri kaya apa? Kaya gini nihh! Lucu kan?

Apa aja isinya selain bee cupcake? Ada handmade bee magnet dari Mom Misya yang sangat rapi dan telaten, bee keychain dari Mom Mitha, dan handmade soap buatan adiknya Mom Livia (silakan cek IG @nonopoy untuk lihat produk-produk kecantikan dari bahan organik yang dibuatnya)! How cute!!! Selain itu, tiap goodie bag juga kebagian kerupuk kuku macan oleh-oleh dari Mom Aya, tempat bekal Tupperware, dan berbagai voucher hadiah dari Ayah Bunda! The Urban Mama pun mengirimkan apron dan buklet menyusui buat semua ibu! Luar biasa ya rejekinya para babies (dan emak-emaknya) ini!

Bee keychain dari Mitha
Bee magnet made by Missya
Dan nggak terlupa, Mom Rahmi pun memesankan kaos kompakan para beeday babies yang tentunya sesuai dengan tema! Kaosnya nyamaaan banget, ketebalan bahannya pas dan adem, menyerap keringat, dan lembut di kulit. Di bagian punggung dicetak nama setiap baby.
Lucu bangeett kan?

Tema bee juga bisa ditemukan di tumpengnya lho! Ini Mom Nana yang pesan. Lucu yaa!


Selebihnya, kucoba memasukkan beberapa small decorations bertema bee buat tambahan dekorasi. Dekorasinya sendiri disiapkan oleh sponsor (keren ga sih sampe ada sponsor dekor hahaha) yang akan dibahas di post terpisah tentang sponsor.

Kekompakan para mommies dalam mempersiapkan acara ini didukung juga dengan kekompakan para daddies yang on-the-spot mengambil alih segala tugas-tugas yang berat a.k.a riweuh semacam memasang backdrop, menggeser perabot, dan menyusun mainan gede yang dibawakan Mom Nana. Di luar segala kekurangan dan kesalahan, kami merasa acara ini sukses! Sukses bikin pengen bikin lagi dan lagi! Hahahaa.... Gimana acaranya? Nanti diceritakan di postingan terpisah yaa...

Betapa senangnya menemukan sahabat-sahabat baru. Terima kasih ya The Urban Mama dan August Birth Club!


Foto-foto acara kami ini dapat dilihat juga di akun Instagram kami @tumABC14. 

25 August 2015

Baby L's Milestones : 12 Months!

Wawww my baby finally turned one! Ga kerasaa... tau-tau si baby jadi toddler. Ah tetep aja mama's baby banget Euis mah! Pertumbuhan skillnya in overall average lah.

LINGUA & KOGNITIF
- Pengenalan udah OK. Hafal mainan-mainan favoritnya. Ketawa begitu lihat mainan itu.
- Mengenali orang-orang serumah, mbak ART, dan tukang sayur langganan.
- Manggil "mm--maa" atau "mamwaa" tapi cuma kalo lagi nangis.
- Ngerti beberapa kata misalnya "yuk", "nen", "mimi", "jalan-jalan", "sini", "minta", "bagi", "kasih", "ambil", "pegang", "papa", "mama", "popo", "mana", dll. Tau kalau sedang dilarang trus biasanya ngeyel (ngambek atau malah nyengir tengil).
- Ikutan "aaaaaa" kalo kami nyanyi. Goyang-goyang tangan kalo denger lagu yang dia suka.
- Sempat suka babbling tapi makin ke sini malah ga pernah lagi. Cuma 'uuuu' atau 'eeeuuu' atau menjerit kenceng kalau excited dan 'EEIIIIIII' kalau kesel nggak diwaro.Dah 2 bulan ini jadi berkurang cerewetnya.
- Nunjuk arah yang dimau. Nah ini salah satu yang bikin cerewetnya berkurang, soalnya tinggal kasih isyarat aja mau apa. Kalau mau minum, dia tunjuk gelas di atas dispenser. Kalau ada nyamuk, dia tunjuk raket nyamuk di atas rak.
- Minta digendong dengan mengulurkan tangan.
- Ngambek (cemberut, nggak mau eye contact) kalau kemauannya nggak dituruti atau habis diomelin selama sekitar 5-15 menit.
- Cemburu kalau emaknya gendong atau peluk anak lain (kalau moodnya lagi jelek aja).
- Ketawa ngekek kalau dibercandain (dalam kondisi good mood).
- Nyariin kalau kami pura-pura ngumpet.
- Berusaha ngambil makanan atau mainan di dalam wadah bening.
- Minta dikelonin buat bobo begitu ada di kondisi gelap. Hahaha ini karena kebiasaan begitu masuk kamar tiap malam matiin lampu, jadi kalau naik mobil jam 6-7an malam pun dia suka mengira udah waktunya tidur.
- Masih suka emosi kalo dipakein baju tapi kalo lagi kooperatif, udah tau kapan musti nekuk tangan dan lurusin tangan.

MOTORIK KASAR
- Berguling-guling; bergerak ke posisi duduk dari posisi tiduran; duduk tegak.
- Merangkak dan manuver-manuvernya (memanjat penghalang, merunduk dan merayap, dll).
- Manjat meja, tangga, dan kasur ketinggian 30-40an cm.
- Turun dari kasur dan sofa (30-50an cm) menggunakan kaki duluan. Belum bisa turun tangga sendiri.
- Menarik badan untuk berdiri sendiri (dengan pegangan ke barang/orang); menurunkan badan perlahan ke posisi duduk.
- Berjalan merambat mengitari meja, rak,dll. Nggak suka ditatih, pingin tangannya lepas.
- Buka pintu yang ringan (dengan menarik, mendorong atau menggeser).
- Berdiri tanpa pegangan selama beberapa detik.

- High-five (tapi suka ga kena) dan kiss bye (baru kiss udah masuk mulut, batal deh byenya hahahaa).
- Melambai kalau dibilang 'dadah' dan goyang-goyang tangan kalau denger rattle sound.
- Tepuk tangan ngasal (kadang yang ketepuk malah perut).
- Gerakan standar: meraba dan menggaruk barang terutama yang bertekstur, mengayun-ayun barang, narik-narik semua yang berbentuk tali, masukin SEMUANYA ke mulut lalu emut-emut, jambret makanan.

MOTORIK HALUS
- Meraih barang yang tergantung di depannya.
- Menjatuhkan barang dari tempat tinggi supaya bisa dia eksplor di lantai.
- Ngorek-ngorek dan meraba tekstur semua barang yang terpegang.
- Mengambil barang dari celah sempit.
- Gerakan-gerakan jari yang dibutuhkan buat mengarahkan makanan ke mulut.
- Pincer grip, menjepit barang dengan jari jempol dan telunjuk. Tapi belum bisa yang kecil-kecil banget.
- Mengeluarkan barang dari kantung plastik (terutama makanan) dengan menghalalkan segala cara: digaruk-garuk, goyang-goyang, lempar, gigit, dll. Pokoknya sampe barangnya keluar.
- Ngerawis (mencabik-cabik) kertas dan tisu.
- Membuka tutup box mainannya lalu menggulingkan boxnya supaya bisa dia acak-acak sambil duduk.
- Buka tutup tempat baterai di remote First Media. Enak sih ada katupnya, tinggal ceklek. Kalau remote TV dan AC kami musti bukanya ditekan jadi dia belum bisa.
- Belum tertarik cilukba. Tapi emang kitanya juga jarang stimulasi sih hahaha...

SOCIAL SKILLS
- Kadang masih separation anxiety. Mama is still number one *tawa kemenangan*. Mama posesif enjoy-enjoy aja ditemplokin sebelum tiba masanya dia malu dipeluk di depan umum.
- Stranger anxiety udah sangat berkurang, tapi kadang muncul when surrounded and cooed by many people she isn't familiar with. Apalagi kalo lagi bad mood. Biasanya no-smiley kalo di tempat ramai yang baru. Pastinya kalau ketemu orang yang belum dihafal, bakal diamati dulu. Kalo udah lama, baru sok akrab nyamperin. Kalau good mood, mau digendong siapa aja.
- Loves other babies and small kids, especially the active ones. Langsung dipelototin dan mencondongkan diri pengen megang.
- Meluk (occasionally) dan nyium (very rarely) tanpa disuruh.

MPASI 
- Been eating table food (almost anything her mama eats) since she was 10,5 months. Belum bisa yang agak alot, musti yang lembut-lembut, tapi udah nggak mau bubur atau nasi tim.
- Makannya masih moody, maks 10 suap trus bosen. Nyusunya masih afgan 2 jam sekali @100 cc.
- Suka banget finger food.
- Minum air putih dari gelas (walau kadang belepotan dan masih suka keselek sendiri; kadang cuma pura-pura keselek juga sih).
- Belum diajari pake sedotan, lupa melulu buat beli sedotannya hahaha...

PERSONALITY & HABIT (yang nampak saat ini)
- Keras kepala. Decisive. Persistent banget kalo udah ada maunya harus dapet, ga bisa dibelokin; kalau dipaksa sesuatu yang dia ga mau bakal ngamuk parah!
- Tengil alias iseng.
- Moody dan bosenan. Cuma fokus kalau ada yang menarik aja, tapi abis itu bisa dilempar begitu aja barangnya dan nggak dimainin lagi sampe beberapa minggu kemudian.
- Nggak kapokan dan tertarik nyoba hal baru (kecuali soal makan obat dan kalau dibawa ke kolam renang yang selalu bikin dia manyun, but we suspect that she just wants to step on something and doesn't like the buoyancy), misalnya megang-megang raket nyamuk walau pernah kena setrum.
- Morning person alias bangunnya pagi banget! Semoga berlanjut sampe gede deh hihihi...
- Strict to schedule. Badannya kaya ada alarmnya: nyusu 2 jam sekali, tidur malem maks jam 20.00, bangun pagi maks jam 7.00 (yang mana sangat jarang terjadi, biasanya 5.00-5.30).
- Anak mama abis. Ya iyalah masa anak tetangga. Rada manja tapi masih wajar.
- Aktif banget. Baru bangun pun langsung merangkak kabur atau manjat-manjat. Tangan dan kaki selalu gerak, nggak mau dipegangin. Sampe sempet cari info soal anak hiperaktif (iya mamanya lebay).
- Picky eater.

Karena menurut penelitian, sifat bawaan anak tuh nurun dari bapak dan kecerdasan dari emak.... kebayang lah ya kaya apa sifat papanya? LOL *kiss kiss*

One Year of Breastfeeding : Supply < Demand!

Aku udah pernah cerita soal perjuangan selama 6 bulan ASIX di post ini. Nah sejak Neng Euis memasuki bulan ke-8, perasaan makin waswas. Bisa nggak ya full ASI sampe umurnya setahun? Anaknya sesudah mulai MPASI pun, tetep aja demand nyusunya segitu... 500 cc sehari selama ditinggal ngantor (11-12 jam) padahal produksiku makin berkurang. Dikasih makan pun, kalo anaknya ogah makan dan maunya nyusu yaa ngamuk, makanannya dilepeh sambil ngejerit *lap keringet dingin*. Mana sejak usianya 7 bulan, aku udah nggak pernah ngalamin PD kenceng kaya dulu, apalagi sampe LDR netes-netes sendiri. Boro-boro. Hiiiyyy deg-degan deh. Mungkin salahku juga, makin lama makin demotivasi buat mompa. Dari yang rajin dua jam sekali, mundur jadi 3 jam, malah pernah 4-5 jam gara-gara keasyikan kerja. Uuhhh *takol diri sendiri*! Kurang tidur dan kurang minum juga berimbas buruk. Biasanya sebelum jam 12 siang harus minimal minum 1,5 sampai 2 liter. Kalo nggak, jangan harap bisa dapet pompaan lebih dari 400 cc.

Strategiku mengatasi produksi ASI yang makin berkurang:
1. Minum yang banyak, makan yang enak dan BERGIZI, tidur yang CUKUP (minimal 8 jam tapi keselang-seling bangun nyusuin sih), jaga kondisi hati musti selalu happy.
2. Pompa yang sering (2 jam sekali) dan jangan sampai lebih dari 3 jam. Kalau perlu, power pump dan pakai double pump. Saya modifikasi Medela Swing supaya bisa doublepump karena pelit beli Maxi hahaa... Puji Tuhan di kantor aku dapet cubicle di ruang kecil terpisah dari orang lain, jadi tinggal kunci pintu dan pasang pompa + BH penahan pompa. Nonstop deh tuh kerja sambil mompa. Gimana bentuk PD nggak kaya plastik cerocotan kueh yaa! (T_T)
3. Booster ASI paling mantap: kruntelan sama si bocah! Tiap malem dan weekend pasti si eneng nemplok sama aku dan nyusunya ya langsung nenen. Segala booster ASI dari teh-tehan, pil-pilan, sampe persusu-soyaan udah kucoba. Sampe bikin lactation dough ball segala. Nggak ada efek berarti. Paling mending ya si fennel essential oil aja. Stimulasi ASI paling bagus tuh ya emang kalo payudara dikenyot langsung sama babynya.
4. Find support! Ini penting banget. Suami (terutama support suami tuh emang paling penting buat seorang ibu), ortu, keluarga, temen-temen. Tutup kuping sama komen-komen yang bikin jengkel. Aku seneng-seneng-miris tuh kalo orang-orang bilang 'ASInya bagus ya, anaknya gendut' atau 'wah ini susu mamanya full cream ya, lemaknya banyak' hahahaha... kaya peternak lagi ikut lomba sapi terbaik! Kadang sebel juga kalo ada yang dengan enteng bilang, "ya udah kasih sufor aja lah, toh udah gede" seolah usaha kerasku tak berarti. Tapi ya positive thinking ajalah bahwa maksudnya tuh "bawa santai dan sebisanya aja, kalo harus nambah sufor juga nggak apa-apa toh kamu udah usahain yang terbaik".
Nah suamiku tuh yang ngucapin kalimat terakhir itu... hikks... Saya bersyukuuuur banget punya suami yang selalu dukung ngASI, siap sedia beliin semua makanan yang saya minta (muahaha) dan ikhlas bininya nggak diet demi jaga asupan gizi. Malah dia sempet bete denger seorang dokter nyuruh aku ngasih sufor aja (karena si dokter juga dulunya nggak nyusuin). Kata si paksu, "Berani-beraninya, dia kan nggak tau usaha keras istri gue selama ini!" *tsaaahh minta diciyum amat sih* 
Pernah juga aku disuruh ngantor di hari libur karena lagi ada proyek penting, dan aku cuma sempat mompa pagi waktu baru sampai dan siang waktu lunch, cuma dapat 300 cc padahal butuh 500! Syukurlah suami dan mamaku kompak, mau jemput aku di kantor bawa si baby jadi akhirnya cuma tekor 100.

NgASI memang perlu usaha keras ya... Dulu ada masa-masa (3 minggu setelah dilahirkan) ketika baby nggak mau nyusu langsung alias bingung puting dan saya harus mompa ASI e-ping. Kalo diinget sekarang, puji Tuhan ya bisa enjoy dan nggak baby blues, malah kalo sekarang disuruh gitu lagi kayanya nggak kuat hahahaa... Relaktasi juga kalo diinget miris banget. Anaknya ngamuk nggak mau nenen, nendang-nendang, nyakar-nyakar. Kok sedih ya, anak sendiri nggak mau sama mamanya (yang pernah ngalamin anak bingput pasti ngerti perasaan tertolak ini, yang nggak ngalamin mah kadang enak aja bilang lebay). Tapi aku menolak sedih dan bete karena katanya bisa menghambat hormon oksitosin dan pengeluaran ASI. Maju terus pantang mundur. Lagian kata temenku juga, emang bayi baru bisa nyusu damai kalo udah agak gedean. Dan bener sih, bahkan sesudah relaktasi sukses pun, si kecil kadang masih ngamuk pas mau nyusu. Sekitar umur 4 bulanan lah baru ilang ngamuknya (paling merengek doang).Dan emang iya sih awal nyusuin tuh sakit. Puting lecet, merah darah. Sampai sekitar 5-6 minggu lah tiap nyusuin nahan perih, tapi abis itu puji Tuhan ga sakit lagi. So.. in overall, menyusui tuh sesuatu yang kunikmati dan kusyukuri. Except for one aspect. Apakah itu?
Terserah ya, sebodo deh orang mau bilang apa, PUMPING SUCKS!!! Okelah breastfeeding was not totally enjoyable at first (ibu dan anak sama-sama musti adaptasi dan mengatasi berbagai masalah susah latch on, bingput, dan rasa nyeri), tapi semuanya terlupakan dan menyusui jadi nyaman setelah terbiasa. Ya mungkin aku kesel mompa karena emang ASIku yang pas-pasan. Mungkin salahku juga dulu kurang rajin mompa di golden period supaya ASInya lebih banyak. Mompa dengan kondisi stok ASI terbatas gini tuh sangat demanding dan melelahkan. Bukannya aku nyesel ya mompa ASI dan nggak ngasih sufor. ASI perah masih lebih bagus daripada sufor kan katanya (yang jelas mah lebih murah hihihi). Cuman ya aku nggak bisa aja menyukai kegiatan mompa ini. Awkward kan kerja sambil nenen disedot-sedot. Riweuh pula kalo kantor mati lampu, untung pompanya bisa pakai baterai. Tapi kuakui ada kepuasan tersendiri kalo denger suara ASI ngalir ke botol hehehe...

Urusan ASI perah ini pun aku nggak terlalu idealis. Misalnya :
1. Menurut anjuran AIMI, media pemberian ASIP tuh sebaiknya bukan dot karena bisa bikin bingung puting dan produksi ASI berkurang. OK, soal bingput memang aku sendiri mengalami, karena bayiku diberi ASIP dengan dot ketika belum menguasai metode latch on yang benar. Setelah dia bisa latch on, thankfully dia fine-fine aja pakai dot dan sejak umurnya 2,5 bulan selalu pakai dot kalau kutinggal kerja. Ya abis gimana, dikasi pake sendok dan cup malah tumpah-tumpah dan anaknya ngamuk. Congrats deh kalo anak-anaknya para konselor ASI itu pada bisa pakai media lain, tapi banyak bayi yang nggak mau pakai media selain dot (atau pengasuhnya nggak kuat ngajarinnya). Malah akunya sedih liat ASI kebuang-buang gitu. Tetep sih aku waswas soal bingput (karena pernah baca ada yang anaknya malah mulai bingput umur 8 bulan) jadi aku kasi 2 tipe dot (regular dan wide neck) buat ganti-ganti sepanjang hari dan ukuran dotnya tetap yang newborn, nggak pernah diupgrade ke M apalagi L supaya mirip aliran ASIku yang agak slow. Soal anak kebiasaan dot bisa mengurangi produksi ASI... hmmm... mending aku positive thinking aja dan usahakan anak menyusu langsung ke PD kalo lagi barengan.
Aku nggak nyaranin pakai dot lho yaa... karena di beberapa anak memang bikin bingput, bahkan ketika usianya udah 5 bulan atau 8 bulan.

2. Idealisme lain misalnya soal cuci steril peralatan pompa dan penyimpanan ASI. Idealnya, setiap pakai pompa tuh dicuci dan disteril. Some mothers bahkan sedia sterilizer di kantor. Hebaaat! Aku mah nggak tuh. Kenapa? Karena pompanya aja ampir ga pernah lepas dari PD! Hahahaa... suamiku aja ketawa miris dengernya. Aku cuma nyuci-steril corong sekali saja tiap malam. Ultah pertama bocah, aku beli corong tambahan buat mompa di rumah malam-malam. Kalau ada corong tambahan, aku nggak usah rempong nyuci-steril corong subuh-subuh hehe...

Selanjutnya mau nerusin nyusuin ga nih? Lanjut doong! Kan di tahun kedua umur si anak, komposisi ASI pun berubah dan 15 oz (sekitar 600 cc) ASI bisa memenuhi kebutuhan anak sbb:
29% of energy requirements
43% of protein requirements
36% of calcium requirements
75% of vitamin A requirements
76% of folate requirements
94% of vitamin B12 requirements
60% of vitamin C requirements.
Gila hebat yah? Apalagi mengingat porsi makan anakku yang minim banget, nggak kaya anak umur setahun. Padahal bodinya seukuran anak 2 tahun. Nah lho, kebutuhan gizinya ngandelin ASI doang nih!

Aku sempat dilema, kalau ASI kurang, mau kasih sufor apa UHT. Kalo sufor takutnya kekenyangan dan makin malas makan. Kalau UHT takutnya kurang gizinya (dan belum tau anaknya doyan apa kaga nih). Hahahaa... lihat nanti aja deh. Kalau ASI masih lumayan terkumpul, susunya cuma kurang dikit, dan enengnya mau UHT ya kasih UHT dulu aja. Semoga lekas pinter mamamnya!!!

Semangat menyusui!!!

24 August 2015

Fototerapi Baby Euis di Omni Alam Sutera (Bilirubin Tinggi)

Melanjutkan kisah kelahiran Neng Euis....

Ketika usianya 6 hari, si eneng kami bawa check up di Omni Alam Sutera tempat dia dilahirkan dan ketahuan bahwa bilirubinnya udah tinggi. 19,3. Limitnya 20; di atas itu bisa kena kejang dan kerusakan otak. Jiper nggak lhu dengernya, as first time parent? Wih, udah mau meweeek aja terus rasanya. Ternyata dia semakin lemas tuh gara-gara jaundice. Pantes nyusunya makin bentar. Si kecil buru-buru diopname di baby room lantai 2. Ditelanjangi selain popoknya lalu ditutupi matanya dan dibaringkan di bawah blue light yang keliatan sangat menyilaukan. Bilirubinnya yang sangat tinggi udah nggak memungkinkan buat home therapy.

Dokter Ferdy, DSAnya si eneng saat itu, menyarankan tetap memberikan ASI (walaupun kutanyakan soal concernku yang beda golongan darah sama si kecil). Ketika kami bilang ingin menemani nginap di RS (dengan asumsi kami akan camping di ruang tunggu), dokter menyarankan buat ambil 1 kamar atas namaku dengan meminta referensi DSOGku. Puji Tuhan prosedur administrasinya mudah. Tim balik dulu ke rumah untuk ngambil pakaianku dll. Aku nunggu dengan risau *halah*. Untungnya temanku Hendra dan istrinya Tika datang bawa anak mereka. Mereka tadinya mau nengokin kami di rumah, tapi nyampe sana dikasi tahu mama bahwa kami lagi di Omni jadi mereka nyusulin. Ternyata anak mereka juga ngalamin disinar, malah bilirubinnya sampai 21. Mereka menghibur, "Udah, nggak apa-apa kok, tuh si bocah juga udah ceria, anak lu juga pasti sehat lagi." Cerita dan kedatangan mereka bikin aku lebih tenang.

Ketika Tim sampai, kami check in ke kamar. Dua jam sekali aku mompa pakai Medela Swing yang kubawa sendiri (walaupun RS sih menyediakan Lactina, tapi aku malas membiasakan diri buat pakai pompa lain) dan nyusuin si eneng pakai dot punya RS (tadinya mau disendokin, tapi kata susternya pakai dot aja supaya lebih mudah). Sebetulnya aku diizinkan menyusui langsung, tapi aku pingin pakai ASIP aja supaya ketauan jumlah ASI yang dikonsumsi si kecil. Kami nyetok sufor Anmum tapi ternyata nggak terpakai karena hasil pompaanku masih mencukupi, sekitar 70-100 cc setiap mompa. Puji Tuhan si kecil juga nyusunya banyak kalau pakai dot. Hiks, nampaknya dia beneran bingung puting gara-gara dikenalin ke dot sebelum bisa latch-on. Kadang sehabis menyusui, aku tetap menemani si eneng, berdiri melow di samping ranjang bayinya ngeliatin dia tidur. Mengibakaann banget. Beratnya susut 250 gram ke 2,5 kg.

Saking lemesnya anak ini, dia ga nolak dipasangin penutup mata. Begitu sehat, ditarik-tarik terus hehehe...


Buat sterilisasi perkakas pompa dan botol, aku pinjam sterilizer di pantry ruang bayi situ. ASIP juga disimpan di kulkas pantry situ, dilabeli sama susternya supaya nggak ketuker sama ASIP orang lain. Ketika si eneng nangis kelaparan dan aku masih di kamarku (masih di lantai yang sama dengan baby room), suster pasti berinisiatif menghangatkan ASIPku dan menyusui si kecil. Sebetulnya suka kasihan juga sih, susternya cuma 2-3 orang dan harus mengurus beberapa bayi dan beberapa ibu. Sebisa mungkin aku tetap mengurus di kecil sendiri. Di luar rasa kasihan sama suster, aku merasa butuh bonding dengan si kecil, apalagi aku akan kembali kerja dalam 2,5 bulan. Sepanjang malam kupasang timer setiap 2 jam. Puji Tuhan suamiku masih bisa istirahat walau tidur di sofa.

Esok harinya, keluargaku dari Bandung datang menjenguk. Papaku, popo (nenek), gugu (adik perempuan papa), dan adik-adik sepupuku. Sayangnya mereka cuma bisa melihat si kecil dari balik kaca ruang bayi dan dalam keadaan tertutup mukanya oleh penutup mata. Nenekku membawakan masakan penambah ASI, hihi... Aku memang berusaha keras buat terus-terusan memberi ASI buat si kecil. Minumnya yang tadinya cuma 40-50 cc pun meningkat jadi 70-80 cc. Hari itu darahnya diambil lagi buat dicek. Ngiluuu denger nangisnya. Bilirubinnya sudah turun 7 poin jadi 12 koma. Yes! Aku makin semangat ngasih dia ASI banyak-banyak. Begadang pun nggak masalah.

Dua hari setelah disinar, neng Euis kembali diperiksa darahnya. Kali ini nangisnya cuma bentar, mungkin dia mulai terbiasa? Euh... kasihan... Puji Tuhan kali ini hasilnya sudah bagus, 5 koma. Beratnya juga sudah naik jadi 2,6 kg. Dokter mengizinkan kami membawa Euis pulang sambil mewanti-wanti bahwa kami harus memastikan si eneng dijemur setiap pagi selama 40 menit dan memberinya minum tiap 2-3 jam. Kondisi si eneng saat itu sudah jauh lebih segar. Nangisnya sudah kencang lagi dan sudah mulai aktif menendang-nendang lagi. Sekali aku dan mamaku mergokin dia lagi nangis di bawah sinar fototerapinya sambil nendang-nendang, badannya sampai tergeser dan hampir kepalanya membentur ranjangnya. Buru-buru kuangkat; lagi nggak ada suster jadi kayanya dia sudah cukup lama nangis. Kulitnya sudah barang tentu gosong hahaha.... Kami sudah pasrah kalau dia kelak nggak seputih emaknya (ehem) tapi dia tetap kupakaikan Sebamed Extrasoft sebadan-badan supaya kulitnya nggak kering. PS: kulitnya memutih kok dari bulan ke bulan, dan di bulan kelima udah putiiiihhh banget kaya Baymax.

Proses check out kami nggak selancar check in-nya. Saat itu aku cuma ditemani mama karena suamiku harus kerja. Kami diizinkan menunggu di kamar selagi administrasi diurus, tapi lamaa sekali, jadi mamaku turun sendiri ke kasir lantai 1. Ternyata memang lagi ramai, sekitar jam 10an siang. Si kasir (mungkin dengan itikad baik) menawarkan untuk ngecek dulu ke perusahaan asuransi, siapa tahu bisa langsung proses tanpa bayar, walaupun kami sudah menyatakan akan reimburse saja. Ehhh ceknya lama beud. Bahkan sampai kasirnya ganti shift pun belum kelar! Mamaku sampai emosiong, "Udah Mbak, kita bayar sendiri aja, emang dari awal rencananya gitu kok!" Ehh dimintain access card. "Nanti saya susulin ke sini, access cardnya masih dipakai pasien di atas!" kata mamaku galak. Hohoho... Tebak kami berhasil keluar RS jam berapa? Jam 14.00. Piuhhh....

In overall, aku merasa Omni Alam Sutera saat itu bukanlah RS yang idealis dalam pemberian ASI. Mereka 'menganjurkan' pemberian ASI tapi pada kenyataannya mereka menyediakan susu formula dan memberikan ASIP/sufor dengan dot. Mindset suster-susternya juga masih 'daripada dedeknya nangis, mending dikasih sufor'. Itu mengutip langsung dari obrolan dengan para suster lho ya. Saat itu mereka juga kayanya nggak betulan menyediakan konselor laktasi deh, cuma suster buat bantu ibu aja (dan itu pun datangnya lama banget walau sudah ku-request berkali-kali, mustinya kan promptly abis lahiran ya). Sekarang aku kurang tahu kondisinya gimana, karena sudah sekitar setahun. Baru-baru ini ke sana, kulihat dr. Cynthia SpA resmi tertulis sebagai konselor laktasi dan mereka menyediakan ruang konseling khusus. Soal ada atau tidaknya sertifikasi konselor, aku belum tahu. Hanya saja kalau berdasarkan pengalaman selama di Omni, aku memutuskan kelak nggak akan melahirkan anak keduaku di sana.

23 August 2015

Setahun yang Lalu: Welcoming An Angel

Pecah Ketuban Dini
 
Setahun yang lalu... jam 4 subuh di hari Minggu, aku bangun karena merasakan aliran air di kemaluan. Buru-buru aku melangkah ke kamar mandi. Ehh... kok makin deras ya? Kok nggak ketahan? Lah ini mah air ketuban! Waww! HPL kan masih 4 minggu lagi! Saking shockednya, aku cuma berdiri di tempat trus manggil si paksu. "Tim, Tim, ketuban gua bocor!" Dia langsung lompat dong. Kalo diingat jadi lawak juga. "Yakin? Kamu udah cek, bukan pipis? Kata dokter gimana kalau ketuban?" Sambil deg-degan, aku ingat-ingat lagi ciri-cirinya. Iya bener, air ketuban tuh nggak ketahan dan baunya manis bukan pesing. Sampe aku ciumin lho celanaku hahahaa... Kami putuskan buat langsung ke rumah sakit aja (tentunya ganti baju dulu), nggak perlu packing dulu. Yang penting memastikan si unyil selamat aja. Kami belum packing apapun buat ke rumah sakit karena berencana melahirkan di Bandung SEBULAN LAGI.

Perjalanan ke Omni Alam Sutera lancar karena masih subuh, tapi terasa lamaaa buatku. Aku berbaring di kursi depan dengan sandaran dimundurkan maksimal, hanya berbekal handuk buat nahan rembesan. Antara panik sama senang, rasanya kaya mimpi. Beneran nih? Anak kami mau lahir hari ini (setahuku anak harus lahir dalam 24 jam setelah ketuban pecah)? Eh ini bener ketuban kan ya? Trus aku belom latihan ngejan sama sekali, kan belum diizinkan sama bidan di kelas senam hamil. Cara ngeden gimana aja aku nggak tau. Bisa nggak ya ntar? Tim ngedrop aku di pintu UGD trus lanjut markir. Aku masuk, menemui seorang dokter dan beberapa suster. "Ketuban saya bocor". Mereka sigap mengambilkan kursi roda dan membawaku ke ruang observasi (atau apalah nama ruangan itu). Tim cepat-cepat menyusul.

Di Rumah Sakit

Aku disuruh langsung ganti baju rumah sakit, lepas celana dalam, berbaring, trus diselimuti. Perutku dipasangi kabel dari alat pengukur tingkat kontraksi. Minim banget kontraksinya. Ya iyalah, nggak kerasa apa-apa kok, tapi kadang masih kerasa gerakan si unyil. Detak jantung si unyil juga dicek; puji Tuhan hasilnya normal. Suster ngecek cairan di Mrs. V pakai kertas lakmus; katanya betul cairan ketuban. Belakangan aku baru tau kalau keputihan pun bisa cair dan bening kaya air ketuban. Dokter Rianda langsung dikabari. Selagi nunggu, aku sempat diperiksa dalam alias VT sama suster. Sakiit! Katanya sih baru paling bukaan 1 apa belom bukaan, gatau dah. Beberapa kali aku harus pipis dan dibantu buat pipis di kasur saking nggak boleh tegakin badan. Aku baru tau loh ada pispot model gitu, dan baru kali ini dicebokin orang lain setelah lewat masa makai popok hahaha... Risih banget (mana aku beser) tapi sabodolah. Saking takut air ketubannya merembes lebih banyak, aku sampe nggak berani ngebalik-balik badan. Kaku aja gitu. Aku nelpon mama di Bandung buat ngabarin. Katanya begitu adekku bangun, mama bakal susul bareng si dede ke RS. Hmmm kusimpulkan berarti sekitar jam 9-an baru berangkat, nyampe Serpong jam 13-an. Aku ngabarin grup Flows (sohib-sohib sejak SMP) dan Gossip Girls (ex-workmates sesama romusha) dan beberapa teman dekat lainnya, Tim ngehubungin ortunya di Bali, minta doa. Tegang tapi aku berusaha tenang. Doa, doa, doa.

Dokter Rianda datang, kalau nggak salah sekitar jam 6 pagi. Fresh baru mandi hihi... kami malah masih pada bau jigong. Dia nyapa ceria, "Heeii, kok malah mau ngelahirin sekarang? Katanya mau di Bandung?" Hahaha... iya, sehari sebelumnya, kami baru aja check up dan pamitan sama si dokter, mau ke Bandung minggu depan. "Anaknya pingin dilahirin sama dokter nih," kataku. Saat itu udah nggak mau mikir berapa biaya lahiran di Omni hahahaa... yang penting anak kami selamat aja. Dokter memasang USG di perutku.

"Masih banyak kok cairannya," kata si dokter menenangkan. Lalu dia menjelaskan, usia kehamilan 36 minggu ini rentan, sebetulnya seminggu lagi si baby boleh dilahirkan normal. Tapi di usia ini, dikhawatirkan kepalanya masih sangat lunak dan bahaya kalau kena trauma. "Saya nggak akan bisa pakai vacuum kalau ternyata kamu nggak kuat mengejan," kata si dokter. Mungkin dia kuatir karena aku punya asma. "Saya sarankan kamu caesar aja." Berpandangan sama si suami, kami pasrah dengan saran dokter. Kecewa dan sedih juga. Tapi ya daripada kenapa-kenapa. Lagian selama 7 bulan check ke dokter Rianda, kami merasa dokternya nggak madut kok; rasanya sih dia (mungkin) nggak manfaatin kesempatan yaa hihihi. Dokter lalu ngasih tahu prosedur selanjutnya. Aku akan dioperasi jam 12 siang. Sebelum itu, aku akan diinfus cairan penguat paru-paru buat si kecil. Sekarang obat anestesinya akan dites dulu ke jaringan kulit tanganku untuk ngecek apakah aku alergi. Dokter ga meriksa dalam, halleluya.

Setelah diskusi dengan Tim, dia balik dulu ke rumah buat bawa hal-hal yang mungkin diperlukan. To be honest saat itu aku ga bisa mikir perlu apa hahaha... Blank! Suster bilang baiknya sedia stagen yang velcro. Selanjutnya aku harus puasa, jadi dikasih kesempatan terakhir buat minum segelas teh manis. Ahhh ga kebayang harus puasa sampai setelah operasi! Kami ditanya punya DSA yang ditunjuk nggak. Nggak ada, kataku. Oke, pihak RS yang pilihkan. Katanya namanya dokter Ferdy. Aku juga dicukur 'di bawah sana' sama susternya dan diminta tanda tangan beberapa berkas untuk operasi.

Timeline selanjutnya aku agak lupa, yang kuingat hanya Tim kembali dari rumah (membawa laptop, bok) bareng adiknya dan dia udah check in kamar buatku nanti. Yiyi (adeknya mama) sama nenek dan adik nenekku juga datang, ngecek aku perlu apa aja, lalu pergi nyariin stagen. Trus temen baikku HM juga datang bareng suaminya, katanya giliran dia nemenin aku karena dulu aku nemenin dia lahiran dari bukaan 3 sampai lahiran hahaha. Kesetiakawanan kaya gini suka bikin haru. Apalagi saat itu aku nggak bisa ngapa-ngapain dan suami malah sibuk kerja dengan laptopnya, demi ngelarin kerjaan supaya besoknya bisa cuti. Kalau ngga ada si HM nemenin rumpi, mungkin aku terpaku sama kontraksi yang mulai mendera dan rasa lapar tegang. Kontraksinya masih oke lah, perut kaya kenceng ditarik tapi aku masih bisa ngobrol sambil ngatur napas.

Jam 11 lebih suster datang ngecek keadaanku (kontraksinya udah makin kuat dan sering) dan melihat hasil tes alergi (nampaknya sih aku ga alergi). Dan lagi-lagi aku diperiksa dalam, huaaa! Gatau buat apa. Ada lendir darahnya, kata susternya udah sekitar bukaan 2-3. Aku disiapkan buat operasi, kabel-kabel dilepas dan aku didorong keluar. Si suami masih berkutat dengan laptop, "Ntar gua nyusul ya Trid." Ebuset. Di ruang persiapan, bajuku dipretelin semua, cuma pakai baju operasi yang nutup depan doang itu. Ya Gustiii, malunyaa... tapi ya udahlah. Pas Tim nyusul, dia nggak diizinin masuk ruang operasi. Ternyata suami nggak dibolehin nemenin! WHAATT? Tadi kita lupa dong nanya dokter! Yah, mohon maklumi kebegoan kami yang sama sekali ga siap buat caesar. Kami kira biasanya suami diizinkan masuk karena teman-teman kami juga didampingi suami. Langsung dong aku mewek. Untung masih sempet pamitan dulu sama Si Tim bentar sebelum aku didorong pergi. Sekilas kulihat di pintu, mama dan adekku baru sampai dan melambai ngasih support. Udah nggak berani mikir nanti masih ketemu lagi apa kaga, sejak moment itu mah aku almost nonstop doa. Katanya di luar ruang operasi pun Tim berdoa bareng HM dan suaminya.

Operasi Caesar / Sectio Caesaria

Di ruang operasi, aku diangkat ke meja operasi. Risihnya bukan main! Itu bapak-bapak semua yang megang tubuh sucikuuu hahaha.... lagi-lagi nebelin muka aja deh. Dokter anestesi masuk, ternyata dokter Christian Johannes yang kemarin ngisi kelas senam hamilku! Dia juga masih ingat aku, jadi kuceritain kalo aku pecah ketuban dini. Dia menenangkan lalu memintaku duduk memeluk bantal. Nah ini dia. Yang kata orang-orang sakit banget. Tapi aku berusaha napas tenang aja sambil hipnotis diri "kuat, kuat, nggak apa-apa". Dokter Chris bilang, "Maaf ya, suntik sebentar, rileks aja, mungkin sakit dikit... yak, tahan napas" trus terasa cuss! Eh, kok nggak sakit-sakit amat? Hahahaa.... Entah karena dokternya lihai banget (secara dokter kepresidenan bok, yang ngasi epidural ke mantu-mantu SBY), entah akunya kebal saking tegang. Yang aku percaya banget mah aku dikuatkan sebagai anugerah Tuhan dan doa banyak orang karena aku orangnya nggak kuat sakit banget. Kalo sakit hati sih bisa tegar *loohhh*.

Selanjutnya tangan kiri kananku dipasung. Malah mikirin metode penyiksaan zaman barbar. Aku dipasangi segala selang (termasuk kateter tapi udah nggak kerasa karena efek anestesi). Terdengar suara alat detektor detak jantungku yang kalo di film-film suka berdenging dramatis 'biiiiiippp' tiap ada yang mati. Amit-amit. Kakiku mulai krenyet-krenyet kesemutan. Dokter Rianda masuk dengan riang. "Mana, bawa kamera atau handycam nggak?" tanyanya. Walah, nggak kepikir, dok hahaha. Untung dokter sigap, udah bawa pocket camera sendiri. Disuruhnya seorang (asistennya?) buat motretin. Operasi pun dimulai. *buru-buru doa lagi* Perutku dibelek. Kerasa ada sesuatu yang menggores perutku tapi nggak sakit. Settt... sett.... klentang klentong! Dokter dan para suster mengobrol pelan. Perutku digoyang-goyang. "Jam 12.27," kata si dokter. Lalu terdengar tangisan malaikat SUPER KENCENG.

My Baby

Deg-degan, kaya apa ya anakku... seorang suster membawakan eneng kecilku yang terhenti tangisnya, ditempelkan sebentar ke dadaku, difoto-foto. Aku nggak tahu gimana menggambarkan perasaanku. Kaya jatuh cinta, kali? Kaya ketemu pertama kali sama orang yang udah dicinta sejak dulu? Dengerin aja lagunya Savage Garden yang I Knew I Loved You. Gitu kali. Saat itu aku nggak nangis saking seneng (dan masih agak tegang) tapi tiap mengenang moment itu pasti mewek. Oh gini ya anakku. Bibirnya merah darah, kulitnya pink, matanya terpejam rapat. "Siapa namanya?" tanya para suster. Kujawab mantab dengan nama pilihan kami, Euis. *tentunya bukan nama sebenarnya* Sayang, dia harus dibawa untuk dibersihkan dan dicek DSA. Kami nggak IMD karena aku nggak ingat buat request ke dokter. Aku juga lupa minta delayed cord clamping.

Ketika si baby terlahir
Dokter terus bekerja sambil ngobrol dengan para suster, mungkin membersihkan sisa plasenta dan merapikan organ dalamku. Suster memuji, perkiraan berat badan anakku cuma meleset 50 gram dari prediksi dokter. Dokter prediksi 2,8 kg tapi lahirnya 2,75 kg. Belakangan kutau, dokter Rianda mengoleskan semacam gel supaya organ-organ dalamku nggak saling melekat. Emang sih mahal, tapi daripada usus nempel? Temanku ada lho yang ngalamin perlekatan organ dalam, gara-gara dokter lamanya ga rapi pas caesar anak pertama. Hiiiyy... ngeri ya. Sampai kata dokter barunya ketika mengoperasi caesar untuk anak berikutnya, 'ini mukjizat kamu bisa hamil lagi'. Kalau mau caesar, wanti-wanti dokternya supaya rapiin dengan bersih ya! Terdengar juga suara sedotan alat seperti vacuum cleaner, mungkin membersihkan sisa darah. Suara tangis si eneng terdengar lagi dari ruang sebelah, kenceeeng banget. WAAAAAK, WAAAAAKK! Kutanya, "Paru-parunya nggak masalah kan ya?" lalu salah seorang di situ menjawab, "Kalau nangisnya aja sekenceng itu, harusnya nggak ya, Bu." Hahaha... Amiiin!
36 weeks gestation; 2,750 grams; 49 cm
Setelah Operasi
Aku mulai menggigil akibat efek anestesi dan diberi obat supaya stop menggigilnya. Setelah dokter Rianda selesai, dia pamit dan bilang, "Nanti foto-fotonya saya email ya, minta alamat e-mail kamu aja di BBM." Iya, makasih banyak ya dok. Aku diselimuti dan didorong pergi. Sekilas kulihat troli penuh kain berdarah-darah, kaya film horor. Aku ditaruh di suatu ruangan kosong, kata masnya yang nganter sih 'untuk observasi sejam'. Beuh observasi apaan ah. Nggak ada siapa-siapa yang meng-'observasi'-ku kok. Palingan dokter Chris sempet ngecek bentar trus bilang bakal panggilin suamiku. Tapi agak lama lho sampai Tim datang, katanya abis nyariin aku sampe bingung karena nggak ketemu siapa-siapa, coba. Dia cerita, udah lihat si Euis tadi, cuma sempat pegang tangannya bentar. "Lucu ya anak kita," katanya. Mana ada ortu nggak bilang gitu ya hahaha... padahal saat itu idungnya penyek, matanya sipit, bibirnya manyun, tapi buat kami ya inilah bayi tercantik (^^). Nggak akan cukup rasa syukur kami kepada Tuhan buat anugerah terindah ini.

Aku nggak ingat akhirnya berapa lama aku ada di ruangan itu sampai akhirnya aku diizinkan buat masuk kamar inap di lantai atas. Kata Tim, keluarga kami udah pada nungguin di sana. Aku didorong ke lift sambil dikawal security; roda ranjang dorongnya rusak jadi aku terguncang-guncang. "Maaf Bu, ini ranjang yang rusak ternyata." Dalem hati: yeee, udah rusak masih dipake. Untung masih ngefek anestesinya. Kujawab aja, "Iya gujrak-gujrak kaya troli Carrefour ya, Pak." Baru kali ini ngerasain jadi belanjaan; mantri sama satpamnya cengar-cengir aja.

Di kamar udah ada mama, yiyi, nenek, adik nenekku, dan adek-adek kami. Katanya mereka udah lihat babyku tadi waktu dia diantar ke ruang baby. Mama langsung ciumin aku, ngasi selamat udah jadi ibu. Hihi selamat juga, mama jadi nenek sekarang. Suster bilang suhu tubuh neng Euis turun ke 35 derajat Celcius jadi harus dihangatkan dulu sebentar. Uhhh sebentar gimana. Untung keluargaku ada di situ mengisi waktu, akunya mah udah ga sabar pingin ketemu si eneng. Sesama ibu pasti kebayang rasanya, setelah sembilan delapan bulan selalu ngegembol harta karun lalu terpisah tuh... aaaaa! Aku pun belum berani makan dan minum karena belum dikasi instruksi lebih lanjut. Akhirnya kami nanya suster karena aku udah sangat haus. Susternya baru deh ngasih tahu bahwa aku sebetulnya udah langsung boleh minum sedikit-sedikit. Ihhh cape deh, kok ga bilang dari tadi. Room service mengantarkan bubur putih dan mama menyuapiku sedikit karena aku belum boleh bangun. Nggak enak, tawar banget. Aku cuma makan beberapa suap.

Sekitar jam 17.00, barulah si unyilku diantar masuk. Waktu itu masih banyak orang. Salahku lagi, mustinya langsung coba nyusuin walau anaknya lagi tidur. Tuh tidur pun dia ngenyot telunjuknya.

Mamanya HM pun sempat datang, tapi waktu kutanya mana sohibku itu, ternyata dia habis muntah-muntah dan lagi ke IGD. Ya ampuunnn... Akhirnya kami nggak sempat ketemu lagi hari itu karena mereka langsung pulang. Makasih ya HM, udah menemani walau lagi nggak sehat. Malah ternyata sempat ikut sibuk beli Aqua segala buat keluargaku.

Sobat-sobatku Bisma dan Melly juga langsung datang sore itu. Makasih ya kawan-kawan!
Yang cowo masih lajang. Muslim. 34 tahun. Cuek tapi baik. Berpenghasilan memadai, karir bagus. Sayang keluarga. Suka membaca dan musik. Mencari wanita yang dewasa dan mandiri. Please PM untuk mencomblangkan.
Room service datang mengambil sisa bubur. Kutunggu-tunggu makan malam yang tak kunjung diantarkan. Pas kami tanyakan, ternyata aku nggak dapat makan malam lagi hahaha... aku kan lapar... Buru-buru aku pesan makanan dari restoran rumah sakit. Tim makan di dekat-dekat situ sekalian membelikan Haagen Dazs kedoyanan bininya hihihi. Tau aja dia, aku udah ngidam banget es krim. Aku kan habis pantang es krim sejak usia kandungan sekitar 6 bulan karena pertambahan berat si eneng luar biasa dan aku takut si bayi terlalu gede untuk lahiran normal.

Menjelang malam, keluarga dan teman-teman kami pamit. Mama balik dulu ke Bandung karena aku baru keluar RS hari Selasa siang kalau kondisi kami bagus. Selasa pagi mama akan datang lagi sekalian bawa perlengkapan menginap buat bantu aku ngurus bayi. Malam ini just the three of us. 

Love at the first sight

Usaha Menyusui Pasca-Operasi Caesar

Aku masih belum boleh banyak bergerak walaupun aku sih merasa baik-baik aja dan nggak sakit. Ya linu-linu dikit lah, tapi ilang begitu liat si unyil unyu ini. Aku sempat mencoba menyusui tapi anaknya tidur nyenyak. Aku minta dikirimi konselor laktasi tapi nggak kunjung datang. Bodohnya aku, membiarkan si eneng tidur. Belakangan baru kutahu, anak prematur memang cenderung tidur terus dan harus dipaksa menyusu. Lha ini dibangunkan dengan cara apapun susaah...

Tengah malam, dia nangis heboh dan nggak bisa ditenangkan. Kucoba menyusui, tapi kok ga bisa latch on ya, ga nemplok. Putingku juga entah kenapa jadi cunglem, padahal semasa hamil tua udah mancung banget. Buat yang merasa vulgar, maaf ya, tapi pada kenyataannya banyak ibu bermasalah gini kok. Kupencet juga dadaku kempes dan nggak keluar apa-apa (mungkin sebenernya salah metode mencetnya juga sih). Tim juga berusaha menimang-nimang si eneng yang terus nangis gegoakan. Walaupun aku tahu bahwa bayi bisa survive 3 hari tanpa menyusu, kami nggak tega mendengarnya mewek.

Kami minta suster memberinya susu formula. Sebetulnya kami sempat minta kami saja yang menyuapi si eneng, tapi katanya SOP mereka tidak mengizinkan. Waktu kutanya, ternyata si kecil dikasi berapa banyak sufor, tebak? Yep, 40 cc! Dan paginya dikasih segitu lagi, tanpa nanya kami. Tahu kan ukuran lambung bayi baru lahir? Paling juga SATU SENDOK TEH! Dan ngasihnya pun pakai dot. Speechless. Kaya gini ngaku RS pro-ASI... tapi kami males ngomel lah.

Esok Harinya

Si bayi yang kekenyangan pun lanjut tidur nyenyak seharian. Boro-boro mau ngenyot nenen. Menolak emosi demi ASI biar segera keluar, aku berusaha postive thinking. Kami menyambut beberapa teman yang datang: Ci Amel dan Ko Bryan, Sisi, Donata, keluarga Widigdo. Aku sempat minta Tim membelikan nipple shield, ceritanya supaya putingnya mancung. Ya jelas gatot lah ya, mohon maklum masih bego. Dokter Rianda sempat datang ngecek kondisi jahitan dan melepas kateter. Suster membantuku belajar berdiri dan jalan. Gampaaang... *songong dulu* lagian aku emang udah nggak betah tiduran. Langsung aku minta mandi sendiri. Agak rempong sih dengan adanya infus ngegantel, tapi botol infusnya bisa digantungin di kaitan yang tersedia di kamar mandi dan digantung di leher sewaktu aku jalan, jadi nggak usah geret-geret tongkat infus kaya di sinetron.

Selama di rumah sakit, tidak sekalipun suster mengajari cara merawat bayi walaupun rumah sakit menerapkan sistem room-in. Mungkin diasumsikan ortunya udah pada jago aja kali ya, atau ada sanak saudara yang ngajarin. Kami sih ya nekad aja coba-coba sendiri. Ada kapas basah sama tisu di ranjang bayi, kami coba cebokin si bayi dan gantikan popoknya. Kami coba lepas pasang bedong tapi tentu masangnya nggak bisa sekencang bidan. Akhirnya kami biarkan bedong terlepas karena si kecil sering nangis kalau dipakaikan bedong. Aku berusaha membangunkan si eneng kecil, tapi dianya pulas. Saking semangat aku berusaha belajar menyusui, infusku sampai lepas kesenggol. Darah berceceran hahaa... Emang dasar nggak bisa diam. Aku beberapa kali minta dipinjami breastpump supaya bisa memancing ASI keluar, tapi nggak kunjung diberikan. Konselor laktasi juga nggak datang-datang.

Datangnya kapan, coba? Senin malam. Aku dan suami malah udah ketiduran bareng si eneng. Yowes, mari belajar menyusui. Suster merangkap konselor itu berusaha membangunkan si eneng lalu mengajariku ngatur posisi. Dia memencet payudaraku, "Tuh keluar kok Bu kolostrumnya." Oh iyaa... senangnya! Si eneng cuma ngenyot bentar lalu tidur lagi. Suster pamit.

Tengah malam si eneng membangunkan kami lagi dengan jeritannya. Kucoba menyusui kanan kiri, tapi dia tetap nangis. Tim membawanya buat ditimang-timang, tetap nangis. Akhirnya kami pasrahkan ke suster. Duh dasar ortu baru oon ya... napa nggak kucoba buat skin-to-skin aja ya. Di ruang bayi sudah tentu dia dikasih susu formula lagi.

Prosedur Kepulangan

Keesokan harinya, hari Selasa pagi, Mama sampai di Serpong. Mama sempat melihat waktu dokter Rianda mengganti plester jahitan. Katanya, "Oh jahitan sekarang mah rapi ya, cuma ngegaris aja." Kata dokter sekarang sistemnya dilem, jadi kulit sama kulit ditempel dan nggak perlu lepas jahitan. Lukaku belum sepenuhnya kering jadi nanti aku boleh lepas sendiri plesternya dalam 4 hari. Dokter menyarankan aku tetap bergerak seperti biasa dan boleh BANGET naik turun tangga (apalagi kamarku di lantai dua). Dia menjadwalkan kontrol dalam seminggu ke depan. Si eneng juga sudah dicek darah dan kami diberi kartunya. Sama dengan golongan darah papanya. Dia juga harus kontrol minggu depannya.

Tim ngurus administrasi dan pembayaran ke kasir di lantai 1. Lumayan lama, ada kali sejam. Aku, mama dan si eneng nunggu di kamar. Lupa ih buat minta gelang rumah sakit dan kertas yang tertempel di ranjang bayi, buat kenang-kenangan. Bahkan lupa foto sekeluarga hahaa... emang dasar ga narsis, suseee..

Sesampainya di rumah, kami langsung sibuk ngeberesin box bayi dan membongkar isi kulkas yang keburu nggak layak makan. Si eneng belum mau nyusu langsung dan produksi ASIku masih seret (kucoba mompa pakai tangan karena belum punya breastpump). Dia masih sempat minum 1-2 botol sufor lagi tapi kukasih cuma sekitar 25 cc aja dan pakai sendok supaya dia masih mau belajar ngenyot nenen. Pelan-pelan ASIku mulai terkumpul dan kami berikan pakai sendok karena anaknya suka menolak ngenyot nenen. Kalau kupaksa pun, paling ngenyot 2-3 menit aja terus tidur lagi. Damn, kena bingung puting nih kayanya, gara-gara dua hari pake dot di rumah sakit.

Selama 3 hari berikutnya, saya terus memompa ASI dan kami bergantian menyuapi si eneng dengan sendok. Minumnya cuma sedikit. Mama yang pertama menyadari, warna kulit si eneng makin kuning. Mama nyaranin buat percepat kontrol ke DSAnya.

Ketika usia si eneng 6 hari, kami bawa dia cek ke dokter. Betul aja, dokter juga melihat dia kuning. Langsung diminta cek darah. Ngiluuu sekali lihatnya, tumit kecil si eneng ditusuk sampai 3 ampul. Nangis jejeritannya nggak usah ditanya. Ibaa banget. Hasilnya keluar sejam kemudian. Betul, bilirubinnya 19,3. Si eneng harus disinar. *nangis*

Kisah fototerapinya bersambung ya.... *halah*


PS: belakangan baru kutahu, kalau ketuban udah pecah duluan tuh seharusnya nggak periksa dalam karena ada risiko bakteri masuk dan membahayakan bayi. Ihhhh, gimana sih susternya!

18 August 2015

Review: Pengajuan KPR di BCA

Untuk memperjelas aja, di sini saya betul-betul mau sharing proses pengajuan KPR yang baru kami lewati sekalian mengungkapkan uneg-uneg, bukan bermaksud pamer properti dan aset yaak! Lha ini aja beli pake KPR kok, kalo mau gaya mah cash dong? Hahaha... Dan dalam kasus ini, sebetulnya cuma nama saya aja 'dicatut' buat keperluan KPR rumah keluarga yang nantinya akan ditempati papa mama dan adek. Pengajuan KPR pakai nama saya supaya kemungkinan disetujuinya lebih tinggi (double income saya dan suami nominalnya lebih besar dari income adik saya).

BCA nggak menerima joint income selain suami istri; jadi rencana awal kami di mana KPR dan sertifikat atas nama adik dengan saya sebagai penjamin tuh nggak diizinkan. Nah kalau KPR atas nama suami, sertifikat atas nama istri (atau sebaliknya) itu boleh.

Properti berada di suatu perumahan di Tangsel, kondisi bekas tahun 2011, status sertifikat HGB. Jual beli disepakati dan uang tanda jadi sebesar Rp 20 juta ditransfer tanggal 21 Juni 2015. Saat itu BCA memberikan bunga KPR yang oke. Ada fix selama 1 dan 2 tahun (9,25% per annum bebas penalti), 3 tahun (9,5% p.a, penalti 1%), dan 5 tahun (10% p.a, penalti 2%). Juga ada Fix 3 tahun 8,88% p.a dan Cap 2 tahun 9,99% p.a dengan penalti 2%.

- Fixed maksudnya bunga akan tetap selama waktu tersebut. 
Misalnya fixed 2 tahun, maka angsuran akan tetap dari cicilan pertama sampai ke-24. Tapi umumnya orang ambil KPR buat 5-20 tahun, yang mana bunga di tahun ketiga dan seterusnya bersifat floating setiap 6 bulan.
- Floating maksudnya bunga akan direview ulang oleh bank, biasanya setiap 6 bulan. 
Nah bunga floating inilah yang biasanya bikin empet, karena biasanya melejit lebih tinggi dari bunga fix di awal-awal masa KPR hehehe... Sekarang aja setahuku bisa nyampe 12-14%. Sakit juga tuh di rekening.
- Cap adalah suku bunga tertinggi ketika floating diberlakukan. Jadi di tahun ke-4 dan seterusnya di BCA, suku bunga akan direview setiap 6 bulan tapi nggak akan lebih dari 9,99% per tahun. Cap BCA ini berlaku selama 2 tahun, sisanya (kalau KPR lebih dari 5 tahun) ya floating biasa.
- Penalti dikenakan ketika kita melunasi (sebagian atau seluruhnya) pokok fasilitas KPR kita, dihitung dari nilai pelunasan pokok hutang.

Kami mengajukan yang fix and cap karena dihitung-hitung masih lebih murah daripada yang fixed 5 tahun.

Berikut susunan timeline pengajuan KPR kami.

1. Menyiapkan Dokumen Pengajuan KPR
Kalau sudah ada plan membeli rumah, ada baiknya dokumen-dokumen pribadi disiapkan sedari dini. Pengecualian mungkin untuk surat dari employer; sebaiknya diminta belakangan saja ketika KPR sudah diajukan. Bank suka emoh sama surat yang ketuaan (di atas 2 bulan).

Fotokopi dari:
- KTP suami istri (jika sudah menikah).
- NPWP pribadi sesuai nama pemohon KPR.
- Kartu Keluarga, Akta Nikah.
- Rekening omzet / copy buku tabungan 3 bulan terakhir. 
Kalau pengajuannya di bank yang sama dengan rekening, cukup pakai print out e-banking. Untungnya saya rajin save tiap bulan karena di KlikBCA hanya available 2 bulan terakhir saja. Kalau request ke customer service, butuh waktu 3 hari karena harus dimintakan dulu ke cabang pembukaan akun saya di Bandung dan kena biaya.
- SIUP, TDP, Surat Keterangan Domisili (untuk usaha perorangan atau PT atau CV).
- Akta Pendirian, Akta Perubahan Anggaran Dasar, Pengesahan Menkeh, NPWP badan usaha, KTP seluruh pengurus dan pemegang saham (untuk badan usaha PT atau CV).
- Sertifikat agunan, IMB, PBB terakhir dari properti yang diajukan.

Asli dari:
Surat keterangan kerja dan penghasilan ATAU slip gaji 1-2 bulan terakhir (untuk karyawan).
Kalau kerja belum sampai 2 tahun, harus sertakan surat keterangan kerja dari employer terdahulu. Nah saya nggak punya surat keterangan dari tempat terdahulu dan udah males mintanya, jadi saya kasih aja copy SPT PPh saya selama 3 tahun terakhir. Kan ada cap perusahaan sama tanda tangan bos juga. Untungnya dibolehkan.

Sebagian besar dokumen berhasil kami kumpulkan tanggal 24 Juni dan saya titipkan ke agen propertinya buat diantarkan ke bank (sekalian karena file legal rumah macam IMB dkk kan ada di doi). Sisanya yaitu surat keterangan gaji akan disusulkan.

2. BI Checking
Selama menunggu kelengkapan dokumen terkumpul, saya kasih dulu copy KTP dan NPWP untuk BI checking (BCA mengecek status kredit saya selama ini menurut catatan BI) saat tanda tangan surat kesepakatan jual beli. Biasanya sekitar 3-4 hari, dan hasilnya keluar tanggal 24 Juni.
Ehh ternyata ada status kolek 2 di salah satu credit card HSBCku yang nggak terpakai, jadi persyaratannya nambah: surat bukti penyelesaian dari HSBC.
Buru-buru kutelpon HSBC dan mereka membenarkan ada tagihan annual fee ke-pending, tapi karena cardnya memang nggak pernah kuaktifkan, mereka bisa cepat batalkan card itu. Sayangnya mereka nggak bisa ngasih e-mail ataupun surat (keterangan tertulis) mengenai penyelesaiannya, jadi cuma ku-screen capture aja m-banking HSBCku yang menunjukkan aku udah nggak ada kewajiban apa-apa ke HSBC. Untung dibolehkan, toh kan BCA tinggal cek ulang aja ke BI ya.

3. House Appraisal (paralel dengan mengumpulkan kelengkapan dokumen, tapi menunggu hasil BI Checking positif)
Tanggal 30 Juni, saya ditagih biaya appraisal untuk dibayarkan ke rekening virtual BCA. Biaya yang berlaku saat ini:
- Rp 700 ribu untuk plafon pinjaman di bawah Rp 1 M.
- Rp 900 ribu untuk plafon pinjaman Rp 1 s.d. 5 M.
- Rp 1,2 juta untuk plafon pinjaman di atas Rp 5 M.
Plafon pinjaman yang dimaksud di sini adalah POKOK HUTANG + BUNGA yak.
Lucunya, walau saya transfer dari rekening atas nama saya (alias si pengaju KPR), orang BCAnya tetap minta e-mail bukti transfernya dong. Yasud lah, aku juga pernah kerja di corporate kok, ngerti birokrasinya nan rudet. Kami dijanjikan appraisal akan dilakukan tanggal 4 Juli dan akan di-arrange oleh pihak appraiser (Appraisor? Ser, sor, bebas lah) dengan agen properti yang memegang kunci rumah tersebut.

4. Pihak KPR BCA menghubungi untuk melakukan verifikasi
Tanggal 2 Juli, mereka menghubungi untuk mengkonfirmasi jangka waktu pinjaman dan jenis suku bunga pinjaman yang ingin saya ajukan. Mereka juga bilang bahwa pencairan dana maksimal adalah 80% dari hasil penilaian appraisor.
Ehh mereka minta lagi dong slip gaji suamiku yang Juni. Ya kutolak lah, ini baru awal Juli gitu loh, gaji Juni aja baru keluar dan minta slip tuh suka lama. Toh yang Mei sudah tersedia. Trus mereka minta surat keterangan kerjaku ditambahkan nominal gaji karena slip gaji dari kantorku unavailable. Suratnya baru bisa kufulfill tanggal 7 Juli, nunggu si boss.

Tanggal 6 Juli barulah aku kontekan pertama kali sama marketing BCA. Tadinya via si agen terus, tapi kuminta kontak langsung aja biar cepat. Yah gaya-gayanya sih masih semi-formal ya, jadi kesannya ga terlalu profesional, tapi emang ekspektasiku ke orang dari financial industry tuh tinggi karena pernah kerja di corporate Nippon nan sangat formal. Lagian liat profpicnya mah kayanya doi masih bocah (halaahh, sok tua hahaha). Si neng BCA ini ngirimin simulasi KPRnya.

Tanggal 9 Juli, orang bagian analisa kredit BCA nelpon aku ke kantor juga nelpon HRD memastikan tanggal masuk kerja dan salary, dan nanya kenapa di rekeningku salary masuk bukan dari rekening perusahaan tapi dari rekening pribadi. Hahahaa... ya namanya juga perusahaan keluarga, Pak... Nah bagian ini jangan lupa kongkalikong sama orang HRD yak hihihi.

Tanggal 10 Juli, si Eneng Marketing BCA ngirim WA lagi nagih appraisal fee. Bingung dong eike, kan udah hampir 2 minggu? Taunya salah nagih. Yaelah jangan lipenan mulu makanya, neng. Keracunan merkuri kali tuh. *mulai jahat*

Nah ketika kami mengira semuanya udah kelar, tinggal nunggu approval, ehhh suamiku ditelpon orang appraisor BCA tanggal 13 Juli, katanya mau melakukan appraisal dan minta kunci sama kami! Yaelahyaelalooohhh! Ke mane aje looo? Lagian logisnya, mana lazim pembeli udah megang kunci selagi mengajukan KPR seh? Trus mana si neng marketing pas kukontak malah bilangnya nggak punya nomor penjual. Lha, kan situ udah kontak-kontakan sama agen propertinya dari kapan hari! Pas kubilang, "Gimana ya ini koordinasinya, kok kaya mau tahu beres aja" malah doi jawabnya ngeyel, "Saya juga koordinasi sama Bu Agen kok, bukan mau tau beres aja. Kan saya urusin. Ya udah Pak. Eh Bu." Kujawab, "Iya memang harusnya koordinasi antara BCA, appraiser, dan penjual jadi efisien. Jangan hubungi pembeli karena pembeli nggak mungkin megang kuncinya. Pengalaman saya di KPR sebelumnya juga pembeli tahu beres untuk urusan appraisal." Doi masih berani ngeyel lho! "Di form KPRnya ga ditulis nomor broker, Bu. Tadi suami ibu yang dihubungi mungkin karena udah hubungi ibu tapi nggak diangkat. Biasanya kalau ada nomor broker, langsung hub pembelinya. Biasanya pembeli akan infoin no hp orang yang bisa dihubungi untuk appraisal." Ga profesional abiiiisss! Ga customer-oriented banget! Wong ga ada telpon masuk ke hapeku. Lagian form KPR ya harus dicek dulu lah sama marketing, mana yang nggak lengkap, lengkapin sendiri, kan doi punya nomor agennya. Emang sih terakhirnya doi minta maaf dan bilang tidak akan kami ulangi lain kali. Keburu kesel tuh aku, aku cuekin aja trus langsung kukontak agen propertinya aja, biar dia yang urus. Nah selanjutnya keburu libur Lebaran deh tanggal 16-21 Juli.

5. Pengumuman Hasil Pengajuan KPR
Tanggal 23 Juli (dua hari setelah kelar libur Lebaran), saya menerima SMS dan e-mail hasil pengajuan KPR saya di BCA. Boleh dibilang pas 1 bulan sejak pengajuan yaa... Puji Tuhan, approved sesuai kondisi yang kami ajukan. Nilai appraisalnya memang lebih rendah sekitar 8% dari nilai jual-beli sesungguhnya (tapi emang biasanya gitu sih setahuku).
Di Surat Persetujuan Kredit yang saya dapat di e-mail, terinci biaya apa saja yang harus kami siapkan untuk dibayarkan ke BCA (provisi 1% dari pokok hutang, administrasi, premi asuransi jiwa, dan premi asuransi kebakaran rumah yang di-KPR-kan). Lumayan pedih di premi asuransi jiwa, nyampe 20 jeti bo! Tapi mungkin karena jangka waktu pinjamannya 15 tahun. In sya Allah kalau kami lunasi dipercepat, preminya pun balik. Biaya-biaya tersebut akan didebet langsung dari rekening BCA saya saat akad dilangsungkan. Awalnya orang BCA bilang premi ini sifatnya masih estimasi, tapi ternyata in the end ga berubah tuh. Padahal udah ngarep dapet diskon; aku kan masih muda belia dan sehat walafiat! Hahaha...

Di SPK tersebut juga disebutkan kelengkapan dokumen yang diminta BCA untuk disediakan saat akad:
- Asli slip gaji Juni suamiku (keukeuh ya booo!)
- Asli surat pernyataan LTV (bahwa kewajiban KPR kami ke bank lain adalah nihil). Copynya pakai scan-scanan harus dikirim duluan via e-mail ke BCA sebelum akad.
- Asli surat keterangan lunas KPR rumah kami dari bank pemberi KPR (karena bukan BCA) untuk diperlihatkan.
- Peningkatan status HGB menjadi SHM (akan diurus si notaris, kami tinggal bayar feenya).

Dari BCA juga ada bagian follow up yang langsung menghubungiku hari itu. Selanjutnya aku kontekannya sama dia buat follow up persyaratan dan jadwal akad.


6. Pemenuhan Syarat Persetujuan KPR
Beberapa hal yang harus kami penuhi saat itu adalah:
- Survey by phone dari agen asuransi jiwa. Biasalah, nanya-nanya riwayat kesehatan dan habit merokok atau obat-obatan, kondisi hamil atau tidak, dll. Saya nyoba nego premi tapi doi langsung ngeles hahaha...
- Menghubungi notaris yang ditunjuk oleh BCA, menanyakan fee legal dan kelengkapan legal yang harus kami penuhi. In the end saya serahkan sama agen propertinya aja, sekalian dia kan harus menyerahkan berkas legal rumah tersebut untuk dicek ke BPN sebelum akad dapat dilakukan (supaya tahu apakah sertifikat tersebut dalam sengketa atau tidak). Biasanya pengecekan sertifikat ke BPN itu butuh 3-4 hari. Juga ada surat yang harus ditandatangani penjual non-developer. Akhirnya si agen dan sekretaris notaris menghubungi saya dan ngasih rincian biaya legal yang harus saya bayar.
- Transfer biaya legal dan pajak pembeli ke notaris maksimal H min 3 (dari hari akad), sekalian nalangin pajak penjual sesuai permintaan doi (buat dipotong dari DP). Buktinya tentu harus dikirim via email atau fax ke kantor si notaris.
- Arrange tanggal akad. Nah ini yang ribet, secara suamiku harus hadir dan doi lagi banyak keluar kota dan si penjual susah dihubungi (harus melalui agennya yang mana susah dihubungi juga)! Mabok deh, dari tanggal 7 Agustus disepakati akad tanggal 12 Agustus, tapi statusnya tentatif sampai H min 1 hahaha.

7. Penandatanganan akad kredit dan akta jual beli
Tiba juga tanggal 12 Agustus, hari penandatanganan akad. Waktunya jam 11 siang di KCU Serpong, untung masih lumayan dekat rumah. Saya dan suami memutuskan ngantor siang aja sepulang akad. Si baby kami bawa karena saya pastinya rempong kalo harus mompa di sana (maklumlah stok ASIP di freezer tipis, jadi diirit-irit). Nyampe jam 10.30, kami diminta nunggu dulu karena ruangan rapatnya semua penuh. Terlihat notaris dan gengnya sibuk bolak-balik beberapa ruangan (Kesimpulan: properti masih laku ya cuy walau ekonomi lagi gojlak). Pihak notaris minta maaf, katanya penandatangan akad paling pagi ngaret sejam jadi berantakan semua jadwal hari itu. Ihhh tau gitu kami aja yang paling pagi yaa hahaa... Akhirnya kami diminta isi beberapa form awal di meja depan ruang rapat sambil wakil notaris menjelaskan prosedur selanjutnya. Sesudah akad, BCA akan mendebet biaya asuransi dan provisi dari rekeningku, "jadi mohon disiapkan ya Buu...". Pencairan dana ke rekening penjual hanya akan dilakukan setelah pendebetan rekeningku berhasil. Kelengkapan dokumen persyaratan persetujuan kredit juga dikumpulkan dan dicek.

Jam 11-an, agen properti datang, disusul pasangan suami-istri penjual rumah. Kami penjual-pembeli dipersilakan masuk ke ruang rapat (dan penghuni alias penanda tangan akad sebelumnya buru-buru diusir hahaha). Neng marketing BCA sama eneng rekannya juga datang tapi tentunya nunggu di luar bareng agen properti (3 orang). Yaiyalah masa tanda tangan sekompi cyin, kaya akad nikah aja haha...

Selanjutnya sih standar, notaris bacain isi akta kredit, kami bergantian disuruh tanda tangan. Yang nggak standar adalah gantian megangin bocah maceuh yang nggak mau duduk diem. Sibuuukk banget si Euis, ya narik bolpen lah, manjat meja lah, numpahin minum lah hahaha... Padahal tadi di mobil cuma bobo bentar. Untung notarisnya sabar. Oya, notaris juga memastikan berapa jumlah aset properti kami karena ada batas maksimum 5 buat setiap pasang suami-istri yang tidak pisah harta. Katanya kami masih bisa tuh nambah lagi. Yakali? Amin aja dehhh hahaha... Tanda tangan berlangsung cepat, sebelum jam 12an udah kelar.

Nah setelah penandatanganan dan cap jari kelar, kami digiring (alias diusir) keluar. Notarisnya ngasih folder buat nyimpan file-file rumah; cakep deh foldernya udah pakai kantong-kantong plastik dan dinamain buat naruh sertifikat, IMB, PBB, dll. Rapiii... aku sukaa (maklum OCD). Di luar, duo Eneng Marketing nyamperin aku. "Ibu, nanti biasanya ada yang telepon Ibu dari survey BCA, nanya kepuasan gitu. Tolong bilang sangat puas ya Bu, jangan bilang cukup puas doang, soalnya penilaian kami dari situ. Tolong ya, Bu, jangan lupa ya. Nanti kalau Ibu ada keluhan, langsung ke kami aja." Trus mereka ngasih souvenir (bantal kepala). Ih norak ya bo. Bukan souvenirnya tapi cara requestnya. Kayanya mendingan nanya dulu dong keluhanku apa selama kontak dengan mereka, trus minta maaf, baru jelasin bahwa bakal ada survey dan penilaian mereka sangat tergantung dari situ.  Ya aku juga ngerti bahwa beberapa orang emang sadis ngasih nilai (lihat aja Tokopedia, nilai 3 dari 5 bintang tapi komennya 'puaaasss, barangnya baguuuss', dafuuq?) tapi kan bisa dibikin elegan gitu requestnya? Cuman sudahlah, aku capek ngajarinnya, anak gue bukan, adek gue bukan, iyain aja biar cepet.

Selagi kami nunggu agen ngitung-ngitung pembagian pentransferan sisa DP (yang baru kubayar 20 juta + kutalangin pajak penjual XX juta), orang-orang pada mengagumi si eneng (Halaaahh! Ya abis dia lagi baek aja, mau digendong tante agen karena tertarik kalung bling-blingnya). Maklum agennya ada 2 perusahaan jadi ngitungnya rada lama. Untungnya si penjual adalah member BCA Prioritas jadi kami ga usah antri di teller bawah nan udah rame banget jam segitu. Enak ya antri di Prioritas, dikasih air dan kopi (tapi nggak kuambil karena lagi megang cah wedhok nan lincah), nyaman buat rumpi-rumpi sama si penjual. Keluar deh kampungannya hahaha... Kelar transaksi, kami bubar. Bocah udah ngamuk minta nyusu.

Sehari sesudahnya si Neng Marketing masih WA lho dengan request yang sama. Cape deehh... Padahal sampai sekarang (seminggu setelahnya) pun belom ada yang survey tuh!

BTW, berikut adalah strategi kami ketika mengajukan KPR:
1. Pilih yang paling lama suku bunga fixednya. Biasanya bunga fix paling lama yang ditawarkan bank tuh 5 tahun. Awal-awal pembayaran KPR tuh bunganya sangat besar karena dihitung dari pokok hutang, makanya sebisa mungkin pilih suku bunga terkecil dan fix dalam jangka waktu terlama. Jangan lupa set budget buat masa ketika bunga floating berlaku, karena biasanya kenaikan suku bunganya signifikan.
2. Tanyakan detail tentang peraturan mengenai pelunasan dipercepat (baik sebagian maupun seluruhnya). Misalnya, di CIMB dulu ternyata hanya boleh 2 kali pelunasan sebagian per tahun dan harus berjarak 6 bulan.
3. Persiapkan dokumen sedari dini. Cek ke HRD perusahaan, biasanya slip atau surat keterangan kerja tuh berapa lama dibuatnya sejak diminta (kalau tidak rutin dibagikan setiap bulan). Tanya siapa contact person yang akan menjawab interview verifikasi oleh analis kredit bank.
4. Bank biasanya mensyaratkan cicilan per bulan maksimal 30% dari income. Kalau suami istri bekerja dan nggak pakai perjanjian pisah harta, itungan double incomenya bisa mempermudah pengajuan. Kalau pisah harta sih aku gak tau detail, kayanya cuma dilihat dari income si pengaju aja dan sertifikat harus atas nama pengaju ya?
5. Sebaiknya aktif bertukar nomor kontak pihak-pihak yang terlibat (penjual, pembeli, agen properti, marketing bank, dll) untuk mempermudah koordinasi. Agen properti aja kadang ada dari pihak penjual dan pembeli hehehe...

Trus dana apa aja yang harus disiapkan untuk KPR (dalam kasus ini, diajukan ke BCA Serpong)?
1. DP: setahuku minimal 20% dari nilai jual beli. Pokoknya bank maunya mencairkan maksimal 80% dari nilai appraisal, jadi kalau bisa kasih spare lah sekitar 10% dari nilai jual belinya.
2. Biaya appraisal: Rp 700 ribu s.d. Rp 1,2 juta. Tergantung plafon kredit.
3. Premi asuransi jiwa. Nah ini aku kurang tahu gimana ngitungnya, pokoknya tergantung umur pengaju kredit dan plafon kreditnya.
4. Premi asuransi kebakaran. Sekitar 1-2% dari nilai rumah.
5. Provisi: 1% dari pokok hutang.
6. Administrasi: Rp 400-600 ribu.
7. BPHTB (Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan) alias pajak pembeli: 5% x (NJOP - Rp 60 juta). NJOP bisa ditanyakan ke agen penjual.
6. Biaya Notaris: Pengecekan Sertifikat dan Zona Nilai Tanah (sekitar Rp 750 ribu), Legalisir Pajak Jual Beli (sekitar Rp 500-600 ribu), Perjanjian Kredit (sekitar Rp 500 ribu s.d. Rp 1 juta), AJB dan balik nama (sekitar Rp 3 s.d. 3,5 juta), APHT & SKMHT (sekitar Rp 1,5 s.d. 3,5 juta). Jika perlu peningkatan HGB jadi SHM: sekitar Rp 2 s.d. 2,5 juta.
7. Penerimaan Negara Bukan Pajak: tergantung peruntukannya. Kami dikenai PNBP pengecekan sertifikat (sekitar Rp 100 ribu), PNBP balik nama (sekitar Rp 500 ribu s.d. 2 juta), dan PNBP Hak Tanggungan.
Saat ini tarif PNBP untuk HT yang berlaku adalah sbb:
a. untuk nilai s.d Rp 250 juta: Rp 50 ribu.
b. untuk range Rp 250 juta s.d Rp 1 M: Rp 200 ribu.
c. untuk di atas Rp 1 M sampai Rp 10 M: Rp 2,5 juta.
Untuk detailnya mungkin berbeda tergantung bank, notaris, lokasi properti, dan nilai transaksi ya...

13 August 2015

Book Review: Look Who's Back by Timur Vermes Plus My Thoughts On Genocide Hoax, Rasisme, and Minority's Right

Saya sudah nggak mau menyatakan diri sebagai 'kaum minoritas', karena saya adalah orang Indonesia. Titik. Merasa diri minoritas berarti saya merasa berbeda. 'Kecil'.
Kalau ada yang nanya label-label Suku, Agama, Ras, Golongan tanpa konteks, saya cenderung menghindar untuk menjawab.
Kalau saya Kristen Katolik, lantas kenapa? Kalau saya keturunan cina, lantas kenapa? Haruskah diperlakukan berbeda dari orang keturunan Ambon, Batak, Jawa, Sunda? Saya sendiri lebih mengidentifikasi diri ke Sunda dan nggak merasakan patriotisme ke negeri Cina sama sekali. Pingin ke sana pun kagak.  Bisa bahasanya pun nggak. Kebetulan aja buyut saya lahir di sana. Udah lebih dari 100 tahun keluarga saya tinggal di Indonesia dan masiiih aja dianggap pendatang. Seriously, dudes? Kami bayar pajak ke Indonesia lho!

Sejak kecil saya diajari nilai-nilai nasionalisme sama mama. Wah, bangganya setiap lihat nama Indonesia sebagai nomor 1 negara ASEAN penghasil _____ (isi aja dengan nama komoditi apapun) di RPUL. *bongkar umur banget ya* Makanya sewaktu kerusuhan 1998 terjadi, saya teramat sangat shocked. Traumatized. Kenapa tiba-tiba status 'cina' menempel lekat dan menjadi sesuatu yang membuat saya harus waswas setiap kali keluar rumah? Kenapa saya 'diincar' karena bentuk mata dan warna kulit yang sedikit berbeda dari 'mayoritas'?

Saat itu saya masih SMP dan nggak begitu mengenal dunia. Membaca berita dan cerita tentang kerusuhan di Jakarta membuat saya ketakutan setengah mati. Perempuan 'cina' diperkosa dan disiksa, laki-laki 'cina' disiksa dan dibunuh. Rumah orang 'cina' diserbu. Toko 'cina' dijarah. Papa saya panik berat, teringat kerusuhan yang dialaminya tahun 1963, ketika rumahnya diserbu perusuh dan dia harus bersembunyi di lemari selama berjam-jam. Puji Tuhan rumahnya nggak dibakar dan seluruh anggota keluarganya selamat, tapi kejadian itu membekaskan trauma yang dalam. Kami cuma bisa merenung. KENAPA KAMI SAMPAI BEGINI DIBENCI? Kami nggak punya salah ke masyarakat Indonesia. (Malah keluarga eks-presiden yang terbukti korupsi triliunan Rupiah dipuja-puja! Helooow?) Apa kami salah karena leluhur kami tidak lahir di Indonesia? Apa kami bukan orang Indonesia karena baru 2-3 generasi lahir di sini? Apa kami bukan manusia?

Dan sekarang, hampir 20 tahun kemudian, banyak orang menyatakan bahwa kejadian tahun 1998 terhadap etnis cina tersebut 'hoax' dan 'hiperbola'. WOW! Okelah, saya nggak kenal sama satupun korban kejadian tersebut (puji Tuhan semua keluarga dan teman saya selamat secara fisik dan kejiwaan walaupun ada juga yang kena jarah). Tapi begitu mudahnya menyatakan bahwa kejadian itu nggak nyata? Karena korban-korbannya nggak mau maju dan menuntut keadilan lalu mereka dianggap nggak ada? Padahal mereka ketakutan untuk bersuara karena lemahnya sistem peradilan negara ini (yang bahkan masih menganggap perkosaan hanya terjadi ketika ada penetrasi alat kelamin) dan budaya menyalahkan korban perkosaan (bukan pelakunya)! Padahal beberapa di antara mereka sampai menderita penyakit kejiwaan bahkan bunuh diri akibat trauma yang mereka alami! Dan masih banyak yang mengingkari kejadian kerusuhan 1998? Keterlaluan. Ini salah satu artikel yang ditulis seorang mantan wartawan Forum Keadilan, Sien Tjiaw. Dia pun gagal mendapatkan wawancara dengan korban perkosaan 1998. Di luar ketiadaan saksi formal, saya percaya bahwa saat itu 'kaum etnis cina' dikorbankan (dan hampir mengalami pemusnahan atau genosida).

Saya teringat kembali soal kerusuhan 1998 karena baru-baru ini saya membaca sebuah buku fiksi yang kebetulan berlatar belakang masa kekuasaan Hitler di Jerman. Di salah satu buku, diceritakan tentang Kristallnacht. Saya googling untuk cari tahu tentang peristiwa ini, yang ternyata adalah penjarahan dan pengusiran kaum Yahudi Jerman. Pelakunya sudah tentu partai NSDAP alias NAZI. Googling lebih lanjut... ternyata banyak sekali orang yang menganggap bahwa HOLOCAUST (alias pemusnahan massal) yang dilakukan Nazi adalah hoax! Argumennya pun sangat meyakinkan dan dijamin bisa menggoyahkan kepercayaan terhadap holocaust. Terutama argumen soal jumlah kaum Yahudi yang dibantai. Aliansi AS-Soviet dkk menyatakan bahwa jumlah korban mencapai 6 juta orang. Sebelum PD II (perang dunia kedua), statistik menyatakan bahwa orang Yahudi ada 5 koma sekian juta orang, nah masa abis semua semasa perang? Menurut sejumlah info, korban jiwa Yahudi harusnya 'hanya' beberapa ratus ribu orang saja. Argumen-argumen lainnya pun banyak sekali. Satu yang kusayangkan, banyak pendukung holohoax ini seolah menyatakan bahwa NAZI's war crime nggak terjadi dan hanyalah propaganda Israel. Some of them are Neo-NAZI.

Duh! Okelah, selalu ada kemungkinan pergeseran realita dalam sejarah (e.g.: G30S/PKI dan Supersemar yang mungkin nggak akan pernah kita ketahui, fact or hoax). Okelah, mungkin holocaust didramatisasi untuk kepentingan propaganda. Tapi apakah kemanusiaan hanya berlaku ketika melibatkan jumlah jutaan manusia? Apa 1 nyawa terbuang itu bukan pelanggaran kemanusiaan? Siapapun yang mempropagandakan perang memang sudah seharusnya menjadi musuh humanisme, baik itu Hitler ataupun George W Bush. Begitu juga siapapun yang bertanggung jawab atas kerusuhan 1998 di Indonesia. Gue naif dan sok idealis? Sebodo.

Oke, balik ke review buku. Dengan pemikiran seperti itulah, saya membaca novel satire karya Timur Vermes berjudul Look Who's Back. (Novel fiksi tentang Kristallnacht yang saya sebut tadi itu malah belum saya kelarin hehehe...) Judul asli dalam bahasa Jermannya adalah Er Ist Wieder Da (yang katanya berarti: dia kembali).
17289087
Mirip siapa hayooo?
Tokoh utamanya, tentu saja, sesuai gambar sampulnya: Adolf Hitler! Diceritakan dalam bentuk sudut pandang orang pertama, dia terbangun di Berlin di tahun 2011, entah bagaimana (dan Si Hitler terlalu logis untuk berkutat pada pertanyaan yang tidak terjawab) dan tampaknya lupa bahwa dia udah bunuh diri. Catatan pinggir: well, pada kenyataannya, mayatnya udah dibakar dan abunya dibuang di laut dan sisa tulang yang ada - ketika dites - ternyata bukan tulang dia, jadi ada teori konspirasi bahwa dia berhasil kabur dan hidup tenang pasca-perang bersama istrinya, Eva. Fucked up eh?

Hitler yang ingatan terakhirnya adalah tahun 1945 jadi cengo melihat perkembangan jaman (Banyak mobil di jalan! Bangunan berdiri megah!) dan ditolong oleh seorang penjual koran di kios pinggir jalan. Dia dikenalkan dengan beberapa orang dari kantor produser TV dan pufff! Hitler pun menjadi stand-up comedian! Semua orang di sekitarnya mengira dia adalah satire comedian dengan method-acting yang luar biasa. Catatan pinggir: method acting adalah teknik akting di mana si actor betul-betul meresapi persona tokoh yang diperankannya, baik perasaan maupun pemikirannya berdasar perasaan dan pengalaman yang pernah dialaminya sendiri dan kadang bahkan dalam kehidupan nyatanya dia tetap berperan sebagai orang itu. Contoh method actor adalah Christian Bale, Al Pacino, Anne Hathaway, dan Heath Ledger (lihat performancenya sebagai Joker, wew).
Dengan monolognya yang 'mengerikan', dia menjadi tenar. Ironisnya, Hitler sendiri merasa langkahnya masuk ke pertelevisian adalah propaganda yang tepat untuk kelak mendirikan kembali NSDAP dan menciptakan Jerman yang tangguh dan murni (alias bebas dari Yahudi).

Gila ya temanya? Sebagai satire, kurasa buku ini bener-bener lihai deh ngobrak-abrik pemikiran dan perasaan pembacanya. Kenapa? Karena Hitlernya likeable! Lucu! Simpatik! Kok bisa, dia kan Hitler yang mengerikan ituuu!!! We should hate him, right? He's a human monster, war-wager, hate-crime politician, right? Banyak orang nggak suka sama buku ini dengan alasan itu, masa Hitlernya dipuja-puja sih. Nah, mereka lupa bahwa Hitler di buku ini adalah tokoh fiksi! Menurut orang-orang yang ngerti, memang cara ngomongnya si Hitler ini persis sama gaya orasi Hitler asli di video-video. Jadi ingat klip Hitler ngamuk dari cuplikan film Downfall yang rame diparodiin di Youtube itu. Emang sangat mudah menjadikan Hitler olok-olokan ya, dengan kumis kotak anehnya itu. Charlie Chaplin juga pernah bikin film buat menertawakan Hitler.

Kelemahannya? Hmmm mungkin saking jermannya, buat pembaca yang nggak pernah tinggal di sana, atau ngikutin berita politik dan budaya Jerman kaya diriku tuh agak susah 'nangkep'nya ya. Tapi terasa sih buku ini sarat kritik terhadap politik dan sosial. Trus di narasinya kan si Hitler ini memang digambarkan bahwa dia jago berkata-kata, tapi kok nggak diceritakan ya apa argumennya ketika dia berhadapan dengan seorang wanita tua Yahudi yang melarang cucunya bekerja ke Si Hitler ini? Sayang aja, menurutku...

In overall, kurasa ini buku yang hebat. Menghibur sekaligus memancing pembacanya untuk berpikir dan mengulik perasaannya. "Ahahaa that's funny! Errr wait... may I laugh about it?" Bangkek deh pokonya! Buku ini juga bikin aku teringat pertanyaan yang dulu pernah terpikir: kalau aku hidup sebagai orang Jerman tahun 1940, akankah aku setuju sama pemikiran Hitler? Menyalutinya 'Heil! Heil!' waktu dengar orasinya? Mungkin aja kan? Tokoh-tokoh yang sekarang dianggap 'penjahat' itu dulunya naik ke puncak kekuasaan dengan dukungan masyarakat lho. *Uhuk! Orba... Uhuk!*
 
Susahnya, buku kaya gini bisa dijadiin alat propaganda Neo-NAZI juga buat orang-orang yang mudah dibrainwash. Ofensif buat beberapa orang. Ada komentator di Goodreads yang bahkan nggak mau baca buku ini. Menjijikkan, katanya, dan dia juga mengecam orang-orang membaca Mein Kamf (manifestonya Hitler). Padahal menurutku sih balik lagi ke niatannya ya. Buat peace-keeper, membaca Mein Kamf tuh bisa menjadi peringatan supaya jangan sampai ada world war lagi kan ya? Yah aku sendiri belum tertarik baca sih hehe... Cuma kalau yang bacanya memang penganut Neo-NAZI mah mungkin malah makin terinspirasi ya. Tapi jaman sekarang adalah jaman informasi. Kalau kita melarang orang membaca dan kalau kita memusnahkan buku yang nggak sesuai dengan ideologi kita, apa bedanya dengan NAZI? Dengan para diktator?

Nah ngomong-ngomong pemaksaan ideologi, boleh ya mulur ke soal gay rights? Review bukunya udah kelar kok hehehe... Aku sendiri bukan homophobia tapi juga nggak mempromosikan homoseksualitas. Pokoknya ya bebas lah, pilihan masing-masing orang aja mau jadi hetero, homo, apa biseksual, selama nggak memaksa orang lain. Menurut agamaku sih, homoseksualitas tuh dikecam yah... (Tapi aku nggak muluk-muluk lah, buktinya beberapa pastor pernah ketangkap pedofilia sama anak cowo, gila kan! Kalau petinggi agamaku aja masih ada yang ngaco, punya hak apa aku bilang orang dosa atau kaga. Biarlah itu mah keputusan Tuhan aja.) 
 
Beberapa waktu lalu dunia heboh kan tuh soal pengesahan pernikahan homoseksual di US. Kalau menurut Om Hans Davidian, pengesahan ini tuh sebetulnya bukan masalah mempromosikan homoseksualitas tapi masalah pengakuan hak sipil warga negara karena selama ini pasangan homoseksual tidak mendapatkan benefit yang diperoleh pasangan heteroseksual. Tapi tahun lalu (kalau ga salah), pernah juga kubaca pasangan homoseksual yang mau get married menuntut seorang baker (apa pemilik venue gitu) karena menolak mereka sebagai klien karena agama si vendor wedding ini menolak homoseksualitas. Dan tuntutannya dikabulkan pengadilan! Lho kalo kaya gitu, di mana letak perlindungan kebebasan beropini dan beragama ya? Selama penolakan dilakukan dengan respectful (tanpa hinaan atau apalah), walaupun memang menyakitkan buat si pasangan homoseksual, tapi itu adalah hak si vendor dong? Tapi kalau dipikir lagi, memang jadi diskriminasi ya? Kebayang kalau vendor weddingku dulu nolak aku misalnya dengan alasan "duh nggak bisa, abis kamu beda agama sih sama aku." Pasti sebel juga. Ahhh pusing! Hahahaha...