13 August 2015

Book Review: Look Who's Back by Timur Vermes Plus My Thoughts On Genocide Hoax, Rasisme, and Minority's Right

Saya sudah nggak mau menyatakan diri sebagai 'kaum minoritas', karena saya adalah orang Indonesia. Titik. Merasa diri minoritas berarti saya merasa berbeda. 'Kecil'.
Kalau ada yang nanya label-label Suku, Agama, Ras, Golongan tanpa konteks, saya cenderung menghindar untuk menjawab.
Kalau saya Kristen Katolik, lantas kenapa? Kalau saya keturunan cina, lantas kenapa? Haruskah diperlakukan berbeda dari orang keturunan Ambon, Batak, Jawa, Sunda? Saya sendiri lebih mengidentifikasi diri ke Sunda dan nggak merasakan patriotisme ke negeri Cina sama sekali. Pingin ke sana pun kagak.  Bisa bahasanya pun nggak. Kebetulan aja buyut saya lahir di sana. Udah lebih dari 100 tahun keluarga saya tinggal di Indonesia dan masiiih aja dianggap pendatang. Seriously, dudes? Kami bayar pajak ke Indonesia lho!

Sejak kecil saya diajari nilai-nilai nasionalisme sama mama. Wah, bangganya setiap lihat nama Indonesia sebagai nomor 1 negara ASEAN penghasil _____ (isi aja dengan nama komoditi apapun) di RPUL. *bongkar umur banget ya* Makanya sewaktu kerusuhan 1998 terjadi, saya teramat sangat shocked. Traumatized. Kenapa tiba-tiba status 'cina' menempel lekat dan menjadi sesuatu yang membuat saya harus waswas setiap kali keluar rumah? Kenapa saya 'diincar' karena bentuk mata dan warna kulit yang sedikit berbeda dari 'mayoritas'?

Saat itu saya masih SMP dan nggak begitu mengenal dunia. Membaca berita dan cerita tentang kerusuhan di Jakarta membuat saya ketakutan setengah mati. Perempuan 'cina' diperkosa dan disiksa, laki-laki 'cina' disiksa dan dibunuh. Rumah orang 'cina' diserbu. Toko 'cina' dijarah. Papa saya panik berat, teringat kerusuhan yang dialaminya tahun 1963, ketika rumahnya diserbu perusuh dan dia harus bersembunyi di lemari selama berjam-jam. Puji Tuhan rumahnya nggak dibakar dan seluruh anggota keluarganya selamat, tapi kejadian itu membekaskan trauma yang dalam. Kami cuma bisa merenung. KENAPA KAMI SAMPAI BEGINI DIBENCI? Kami nggak punya salah ke masyarakat Indonesia. (Malah keluarga eks-presiden yang terbukti korupsi triliunan Rupiah dipuja-puja! Helooow?) Apa kami salah karena leluhur kami tidak lahir di Indonesia? Apa kami bukan orang Indonesia karena baru 2-3 generasi lahir di sini? Apa kami bukan manusia?

Dan sekarang, hampir 20 tahun kemudian, banyak orang menyatakan bahwa kejadian tahun 1998 terhadap etnis cina tersebut 'hoax' dan 'hiperbola'. WOW! Okelah, saya nggak kenal sama satupun korban kejadian tersebut (puji Tuhan semua keluarga dan teman saya selamat secara fisik dan kejiwaan walaupun ada juga yang kena jarah). Tapi begitu mudahnya menyatakan bahwa kejadian itu nggak nyata? Karena korban-korbannya nggak mau maju dan menuntut keadilan lalu mereka dianggap nggak ada? Padahal mereka ketakutan untuk bersuara karena lemahnya sistem peradilan negara ini (yang bahkan masih menganggap perkosaan hanya terjadi ketika ada penetrasi alat kelamin) dan budaya menyalahkan korban perkosaan (bukan pelakunya)! Padahal beberapa di antara mereka sampai menderita penyakit kejiwaan bahkan bunuh diri akibat trauma yang mereka alami! Dan masih banyak yang mengingkari kejadian kerusuhan 1998? Keterlaluan. Ini salah satu artikel yang ditulis seorang mantan wartawan Forum Keadilan, Sien Tjiaw. Dia pun gagal mendapatkan wawancara dengan korban perkosaan 1998. Di luar ketiadaan saksi formal, saya percaya bahwa saat itu 'kaum etnis cina' dikorbankan (dan hampir mengalami pemusnahan atau genosida).

Saya teringat kembali soal kerusuhan 1998 karena baru-baru ini saya membaca sebuah buku fiksi yang kebetulan berlatar belakang masa kekuasaan Hitler di Jerman. Di salah satu buku, diceritakan tentang Kristallnacht. Saya googling untuk cari tahu tentang peristiwa ini, yang ternyata adalah penjarahan dan pengusiran kaum Yahudi Jerman. Pelakunya sudah tentu partai NSDAP alias NAZI. Googling lebih lanjut... ternyata banyak sekali orang yang menganggap bahwa HOLOCAUST (alias pemusnahan massal) yang dilakukan Nazi adalah hoax! Argumennya pun sangat meyakinkan dan dijamin bisa menggoyahkan kepercayaan terhadap holocaust. Terutama argumen soal jumlah kaum Yahudi yang dibantai. Aliansi AS-Soviet dkk menyatakan bahwa jumlah korban mencapai 6 juta orang. Sebelum PD II (perang dunia kedua), statistik menyatakan bahwa orang Yahudi ada 5 koma sekian juta orang, nah masa abis semua semasa perang? Menurut sejumlah info, korban jiwa Yahudi harusnya 'hanya' beberapa ratus ribu orang saja. Argumen-argumen lainnya pun banyak sekali. Satu yang kusayangkan, banyak pendukung holohoax ini seolah menyatakan bahwa NAZI's war crime nggak terjadi dan hanyalah propaganda Israel. Some of them are Neo-NAZI.

Duh! Okelah, selalu ada kemungkinan pergeseran realita dalam sejarah (e.g.: G30S/PKI dan Supersemar yang mungkin nggak akan pernah kita ketahui, fact or hoax). Okelah, mungkin holocaust didramatisasi untuk kepentingan propaganda. Tapi apakah kemanusiaan hanya berlaku ketika melibatkan jumlah jutaan manusia? Apa 1 nyawa terbuang itu bukan pelanggaran kemanusiaan? Siapapun yang mempropagandakan perang memang sudah seharusnya menjadi musuh humanisme, baik itu Hitler ataupun George W Bush. Begitu juga siapapun yang bertanggung jawab atas kerusuhan 1998 di Indonesia. Gue naif dan sok idealis? Sebodo.

Oke, balik ke review buku. Dengan pemikiran seperti itulah, saya membaca novel satire karya Timur Vermes berjudul Look Who's Back. (Novel fiksi tentang Kristallnacht yang saya sebut tadi itu malah belum saya kelarin hehehe...) Judul asli dalam bahasa Jermannya adalah Er Ist Wieder Da (yang katanya berarti: dia kembali).
17289087
Mirip siapa hayooo?
Tokoh utamanya, tentu saja, sesuai gambar sampulnya: Adolf Hitler! Diceritakan dalam bentuk sudut pandang orang pertama, dia terbangun di Berlin di tahun 2011, entah bagaimana (dan Si Hitler terlalu logis untuk berkutat pada pertanyaan yang tidak terjawab) dan tampaknya lupa bahwa dia udah bunuh diri. Catatan pinggir: well, pada kenyataannya, mayatnya udah dibakar dan abunya dibuang di laut dan sisa tulang yang ada - ketika dites - ternyata bukan tulang dia, jadi ada teori konspirasi bahwa dia berhasil kabur dan hidup tenang pasca-perang bersama istrinya, Eva. Fucked up eh?

Hitler yang ingatan terakhirnya adalah tahun 1945 jadi cengo melihat perkembangan jaman (Banyak mobil di jalan! Bangunan berdiri megah!) dan ditolong oleh seorang penjual koran di kios pinggir jalan. Dia dikenalkan dengan beberapa orang dari kantor produser TV dan pufff! Hitler pun menjadi stand-up comedian! Semua orang di sekitarnya mengira dia adalah satire comedian dengan method-acting yang luar biasa. Catatan pinggir: method acting adalah teknik akting di mana si actor betul-betul meresapi persona tokoh yang diperankannya, baik perasaan maupun pemikirannya berdasar perasaan dan pengalaman yang pernah dialaminya sendiri dan kadang bahkan dalam kehidupan nyatanya dia tetap berperan sebagai orang itu. Contoh method actor adalah Christian Bale, Al Pacino, Anne Hathaway, dan Heath Ledger (lihat performancenya sebagai Joker, wew).
Dengan monolognya yang 'mengerikan', dia menjadi tenar. Ironisnya, Hitler sendiri merasa langkahnya masuk ke pertelevisian adalah propaganda yang tepat untuk kelak mendirikan kembali NSDAP dan menciptakan Jerman yang tangguh dan murni (alias bebas dari Yahudi).

Gila ya temanya? Sebagai satire, kurasa buku ini bener-bener lihai deh ngobrak-abrik pemikiran dan perasaan pembacanya. Kenapa? Karena Hitlernya likeable! Lucu! Simpatik! Kok bisa, dia kan Hitler yang mengerikan ituuu!!! We should hate him, right? He's a human monster, war-wager, hate-crime politician, right? Banyak orang nggak suka sama buku ini dengan alasan itu, masa Hitlernya dipuja-puja sih. Nah, mereka lupa bahwa Hitler di buku ini adalah tokoh fiksi! Menurut orang-orang yang ngerti, memang cara ngomongnya si Hitler ini persis sama gaya orasi Hitler asli di video-video. Jadi ingat klip Hitler ngamuk dari cuplikan film Downfall yang rame diparodiin di Youtube itu. Emang sangat mudah menjadikan Hitler olok-olokan ya, dengan kumis kotak anehnya itu. Charlie Chaplin juga pernah bikin film buat menertawakan Hitler.

Kelemahannya? Hmmm mungkin saking jermannya, buat pembaca yang nggak pernah tinggal di sana, atau ngikutin berita politik dan budaya Jerman kaya diriku tuh agak susah 'nangkep'nya ya. Tapi terasa sih buku ini sarat kritik terhadap politik dan sosial. Trus di narasinya kan si Hitler ini memang digambarkan bahwa dia jago berkata-kata, tapi kok nggak diceritakan ya apa argumennya ketika dia berhadapan dengan seorang wanita tua Yahudi yang melarang cucunya bekerja ke Si Hitler ini? Sayang aja, menurutku...

In overall, kurasa ini buku yang hebat. Menghibur sekaligus memancing pembacanya untuk berpikir dan mengulik perasaannya. "Ahahaa that's funny! Errr wait... may I laugh about it?" Bangkek deh pokonya! Buku ini juga bikin aku teringat pertanyaan yang dulu pernah terpikir: kalau aku hidup sebagai orang Jerman tahun 1940, akankah aku setuju sama pemikiran Hitler? Menyalutinya 'Heil! Heil!' waktu dengar orasinya? Mungkin aja kan? Tokoh-tokoh yang sekarang dianggap 'penjahat' itu dulunya naik ke puncak kekuasaan dengan dukungan masyarakat lho. *Uhuk! Orba... Uhuk!*
 
Susahnya, buku kaya gini bisa dijadiin alat propaganda Neo-NAZI juga buat orang-orang yang mudah dibrainwash. Ofensif buat beberapa orang. Ada komentator di Goodreads yang bahkan nggak mau baca buku ini. Menjijikkan, katanya, dan dia juga mengecam orang-orang membaca Mein Kamf (manifestonya Hitler). Padahal menurutku sih balik lagi ke niatannya ya. Buat peace-keeper, membaca Mein Kamf tuh bisa menjadi peringatan supaya jangan sampai ada world war lagi kan ya? Yah aku sendiri belum tertarik baca sih hehe... Cuma kalau yang bacanya memang penganut Neo-NAZI mah mungkin malah makin terinspirasi ya. Tapi jaman sekarang adalah jaman informasi. Kalau kita melarang orang membaca dan kalau kita memusnahkan buku yang nggak sesuai dengan ideologi kita, apa bedanya dengan NAZI? Dengan para diktator?

Nah ngomong-ngomong pemaksaan ideologi, boleh ya mulur ke soal gay rights? Review bukunya udah kelar kok hehehe... Aku sendiri bukan homophobia tapi juga nggak mempromosikan homoseksualitas. Pokoknya ya bebas lah, pilihan masing-masing orang aja mau jadi hetero, homo, apa biseksual, selama nggak memaksa orang lain. Menurut agamaku sih, homoseksualitas tuh dikecam yah... (Tapi aku nggak muluk-muluk lah, buktinya beberapa pastor pernah ketangkap pedofilia sama anak cowo, gila kan! Kalau petinggi agamaku aja masih ada yang ngaco, punya hak apa aku bilang orang dosa atau kaga. Biarlah itu mah keputusan Tuhan aja.) 
 
Beberapa waktu lalu dunia heboh kan tuh soal pengesahan pernikahan homoseksual di US. Kalau menurut Om Hans Davidian, pengesahan ini tuh sebetulnya bukan masalah mempromosikan homoseksualitas tapi masalah pengakuan hak sipil warga negara karena selama ini pasangan homoseksual tidak mendapatkan benefit yang diperoleh pasangan heteroseksual. Tapi tahun lalu (kalau ga salah), pernah juga kubaca pasangan homoseksual yang mau get married menuntut seorang baker (apa pemilik venue gitu) karena menolak mereka sebagai klien karena agama si vendor wedding ini menolak homoseksualitas. Dan tuntutannya dikabulkan pengadilan! Lho kalo kaya gitu, di mana letak perlindungan kebebasan beropini dan beragama ya? Selama penolakan dilakukan dengan respectful (tanpa hinaan atau apalah), walaupun memang menyakitkan buat si pasangan homoseksual, tapi itu adalah hak si vendor dong? Tapi kalau dipikir lagi, memang jadi diskriminasi ya? Kebayang kalau vendor weddingku dulu nolak aku misalnya dengan alasan "duh nggak bisa, abis kamu beda agama sih sama aku." Pasti sebel juga. Ahhh pusing! Hahahaha...

No comments:

Post a Comment