24 August 2015

Fototerapi Baby Euis di Omni Alam Sutera (Bilirubin Tinggi)

Melanjutkan kisah kelahiran Neng Euis....

Ketika usianya 6 hari, si eneng kami bawa check up di Omni Alam Sutera tempat dia dilahirkan dan ketahuan bahwa bilirubinnya udah tinggi. 19,3. Limitnya 20; di atas itu bisa kena kejang dan kerusakan otak. Jiper nggak lhu dengernya, as first time parent? Wih, udah mau meweeek aja terus rasanya. Ternyata dia semakin lemas tuh gara-gara jaundice. Pantes nyusunya makin bentar. Si kecil buru-buru diopname di baby room lantai 2. Ditelanjangi selain popoknya lalu ditutupi matanya dan dibaringkan di bawah blue light yang keliatan sangat menyilaukan. Bilirubinnya yang sangat tinggi udah nggak memungkinkan buat home therapy.

Dokter Ferdy, DSAnya si eneng saat itu, menyarankan tetap memberikan ASI (walaupun kutanyakan soal concernku yang beda golongan darah sama si kecil). Ketika kami bilang ingin menemani nginap di RS (dengan asumsi kami akan camping di ruang tunggu), dokter menyarankan buat ambil 1 kamar atas namaku dengan meminta referensi DSOGku. Puji Tuhan prosedur administrasinya mudah. Tim balik dulu ke rumah untuk ngambil pakaianku dll. Aku nunggu dengan risau *halah*. Untungnya temanku Hendra dan istrinya Tika datang bawa anak mereka. Mereka tadinya mau nengokin kami di rumah, tapi nyampe sana dikasi tahu mama bahwa kami lagi di Omni jadi mereka nyusulin. Ternyata anak mereka juga ngalamin disinar, malah bilirubinnya sampai 21. Mereka menghibur, "Udah, nggak apa-apa kok, tuh si bocah juga udah ceria, anak lu juga pasti sehat lagi." Cerita dan kedatangan mereka bikin aku lebih tenang.

Ketika Tim sampai, kami check in ke kamar. Dua jam sekali aku mompa pakai Medela Swing yang kubawa sendiri (walaupun RS sih menyediakan Lactina, tapi aku malas membiasakan diri buat pakai pompa lain) dan nyusuin si eneng pakai dot punya RS (tadinya mau disendokin, tapi kata susternya pakai dot aja supaya lebih mudah). Sebetulnya aku diizinkan menyusui langsung, tapi aku pingin pakai ASIP aja supaya ketauan jumlah ASI yang dikonsumsi si kecil. Kami nyetok sufor Anmum tapi ternyata nggak terpakai karena hasil pompaanku masih mencukupi, sekitar 70-100 cc setiap mompa. Puji Tuhan si kecil juga nyusunya banyak kalau pakai dot. Hiks, nampaknya dia beneran bingung puting gara-gara dikenalin ke dot sebelum bisa latch-on. Kadang sehabis menyusui, aku tetap menemani si eneng, berdiri melow di samping ranjang bayinya ngeliatin dia tidur. Mengibakaann banget. Beratnya susut 250 gram ke 2,5 kg.

Saking lemesnya anak ini, dia ga nolak dipasangin penutup mata. Begitu sehat, ditarik-tarik terus hehehe...


Buat sterilisasi perkakas pompa dan botol, aku pinjam sterilizer di pantry ruang bayi situ. ASIP juga disimpan di kulkas pantry situ, dilabeli sama susternya supaya nggak ketuker sama ASIP orang lain. Ketika si eneng nangis kelaparan dan aku masih di kamarku (masih di lantai yang sama dengan baby room), suster pasti berinisiatif menghangatkan ASIPku dan menyusui si kecil. Sebetulnya suka kasihan juga sih, susternya cuma 2-3 orang dan harus mengurus beberapa bayi dan beberapa ibu. Sebisa mungkin aku tetap mengurus di kecil sendiri. Di luar rasa kasihan sama suster, aku merasa butuh bonding dengan si kecil, apalagi aku akan kembali kerja dalam 2,5 bulan. Sepanjang malam kupasang timer setiap 2 jam. Puji Tuhan suamiku masih bisa istirahat walau tidur di sofa.

Esok harinya, keluargaku dari Bandung datang menjenguk. Papaku, popo (nenek), gugu (adik perempuan papa), dan adik-adik sepupuku. Sayangnya mereka cuma bisa melihat si kecil dari balik kaca ruang bayi dan dalam keadaan tertutup mukanya oleh penutup mata. Nenekku membawakan masakan penambah ASI, hihi... Aku memang berusaha keras buat terus-terusan memberi ASI buat si kecil. Minumnya yang tadinya cuma 40-50 cc pun meningkat jadi 70-80 cc. Hari itu darahnya diambil lagi buat dicek. Ngiluuu denger nangisnya. Bilirubinnya sudah turun 7 poin jadi 12 koma. Yes! Aku makin semangat ngasih dia ASI banyak-banyak. Begadang pun nggak masalah.

Dua hari setelah disinar, neng Euis kembali diperiksa darahnya. Kali ini nangisnya cuma bentar, mungkin dia mulai terbiasa? Euh... kasihan... Puji Tuhan kali ini hasilnya sudah bagus, 5 koma. Beratnya juga sudah naik jadi 2,6 kg. Dokter mengizinkan kami membawa Euis pulang sambil mewanti-wanti bahwa kami harus memastikan si eneng dijemur setiap pagi selama 40 menit dan memberinya minum tiap 2-3 jam. Kondisi si eneng saat itu sudah jauh lebih segar. Nangisnya sudah kencang lagi dan sudah mulai aktif menendang-nendang lagi. Sekali aku dan mamaku mergokin dia lagi nangis di bawah sinar fototerapinya sambil nendang-nendang, badannya sampai tergeser dan hampir kepalanya membentur ranjangnya. Buru-buru kuangkat; lagi nggak ada suster jadi kayanya dia sudah cukup lama nangis. Kulitnya sudah barang tentu gosong hahaha.... Kami sudah pasrah kalau dia kelak nggak seputih emaknya (ehem) tapi dia tetap kupakaikan Sebamed Extrasoft sebadan-badan supaya kulitnya nggak kering. PS: kulitnya memutih kok dari bulan ke bulan, dan di bulan kelima udah putiiiihhh banget kaya Baymax.

Proses check out kami nggak selancar check in-nya. Saat itu aku cuma ditemani mama karena suamiku harus kerja. Kami diizinkan menunggu di kamar selagi administrasi diurus, tapi lamaa sekali, jadi mamaku turun sendiri ke kasir lantai 1. Ternyata memang lagi ramai, sekitar jam 10an siang. Si kasir (mungkin dengan itikad baik) menawarkan untuk ngecek dulu ke perusahaan asuransi, siapa tahu bisa langsung proses tanpa bayar, walaupun kami sudah menyatakan akan reimburse saja. Ehhh ceknya lama beud. Bahkan sampai kasirnya ganti shift pun belum kelar! Mamaku sampai emosiong, "Udah Mbak, kita bayar sendiri aja, emang dari awal rencananya gitu kok!" Ehh dimintain access card. "Nanti saya susulin ke sini, access cardnya masih dipakai pasien di atas!" kata mamaku galak. Hohoho... Tebak kami berhasil keluar RS jam berapa? Jam 14.00. Piuhhh....

In overall, aku merasa Omni Alam Sutera saat itu bukanlah RS yang idealis dalam pemberian ASI. Mereka 'menganjurkan' pemberian ASI tapi pada kenyataannya mereka menyediakan susu formula dan memberikan ASIP/sufor dengan dot. Mindset suster-susternya juga masih 'daripada dedeknya nangis, mending dikasih sufor'. Itu mengutip langsung dari obrolan dengan para suster lho ya. Saat itu mereka juga kayanya nggak betulan menyediakan konselor laktasi deh, cuma suster buat bantu ibu aja (dan itu pun datangnya lama banget walau sudah ku-request berkali-kali, mustinya kan promptly abis lahiran ya). Sekarang aku kurang tahu kondisinya gimana, karena sudah sekitar setahun. Baru-baru ini ke sana, kulihat dr. Cynthia SpA resmi tertulis sebagai konselor laktasi dan mereka menyediakan ruang konseling khusus. Soal ada atau tidaknya sertifikasi konselor, aku belum tahu. Hanya saja kalau berdasarkan pengalaman selama di Omni, aku memutuskan kelak nggak akan melahirkan anak keduaku di sana.

No comments:

Post a Comment