23 August 2015

Setahun yang Lalu: Welcoming An Angel

Pecah Ketuban Dini
 
Setahun yang lalu... jam 4 subuh di hari Minggu, aku bangun karena merasakan aliran air di kemaluan. Buru-buru aku melangkah ke kamar mandi. Ehh... kok makin deras ya? Kok nggak ketahan? Lah ini mah air ketuban! Waww! HPL kan masih 4 minggu lagi! Saking shockednya, aku cuma berdiri di tempat trus manggil si paksu. "Tim, Tim, ketuban gua bocor!" Dia langsung lompat dong. Kalo diingat jadi lawak juga. "Yakin? Kamu udah cek, bukan pipis? Kata dokter gimana kalau ketuban?" Sambil deg-degan, aku ingat-ingat lagi ciri-cirinya. Iya bener, air ketuban tuh nggak ketahan dan baunya manis bukan pesing. Sampe aku ciumin lho celanaku hahahaa... Kami putuskan buat langsung ke rumah sakit aja (tentunya ganti baju dulu), nggak perlu packing dulu. Yang penting memastikan si unyil selamat aja. Kami belum packing apapun buat ke rumah sakit karena berencana melahirkan di Bandung SEBULAN LAGI.

Perjalanan ke Omni Alam Sutera lancar karena masih subuh, tapi terasa lamaaa buatku. Aku berbaring di kursi depan dengan sandaran dimundurkan maksimal, hanya berbekal handuk buat nahan rembesan. Antara panik sama senang, rasanya kaya mimpi. Beneran nih? Anak kami mau lahir hari ini (setahuku anak harus lahir dalam 24 jam setelah ketuban pecah)? Eh ini bener ketuban kan ya? Trus aku belom latihan ngejan sama sekali, kan belum diizinkan sama bidan di kelas senam hamil. Cara ngeden gimana aja aku nggak tau. Bisa nggak ya ntar? Tim ngedrop aku di pintu UGD trus lanjut markir. Aku masuk, menemui seorang dokter dan beberapa suster. "Ketuban saya bocor". Mereka sigap mengambilkan kursi roda dan membawaku ke ruang observasi (atau apalah nama ruangan itu). Tim cepat-cepat menyusul.

Di Rumah Sakit

Aku disuruh langsung ganti baju rumah sakit, lepas celana dalam, berbaring, trus diselimuti. Perutku dipasangi kabel dari alat pengukur tingkat kontraksi. Minim banget kontraksinya. Ya iyalah, nggak kerasa apa-apa kok, tapi kadang masih kerasa gerakan si unyil. Detak jantung si unyil juga dicek; puji Tuhan hasilnya normal. Suster ngecek cairan di Mrs. V pakai kertas lakmus; katanya betul cairan ketuban. Belakangan aku baru tau kalau keputihan pun bisa cair dan bening kaya air ketuban. Dokter Rianda langsung dikabari. Selagi nunggu, aku sempat diperiksa dalam alias VT sama suster. Sakiit! Katanya sih baru paling bukaan 1 apa belom bukaan, gatau dah. Beberapa kali aku harus pipis dan dibantu buat pipis di kasur saking nggak boleh tegakin badan. Aku baru tau loh ada pispot model gitu, dan baru kali ini dicebokin orang lain setelah lewat masa makai popok hahaha... Risih banget (mana aku beser) tapi sabodolah. Saking takut air ketubannya merembes lebih banyak, aku sampe nggak berani ngebalik-balik badan. Kaku aja gitu. Aku nelpon mama di Bandung buat ngabarin. Katanya begitu adekku bangun, mama bakal susul bareng si dede ke RS. Hmmm kusimpulkan berarti sekitar jam 9-an baru berangkat, nyampe Serpong jam 13-an. Aku ngabarin grup Flows (sohib-sohib sejak SMP) dan Gossip Girls (ex-workmates sesama romusha) dan beberapa teman dekat lainnya, Tim ngehubungin ortunya di Bali, minta doa. Tegang tapi aku berusaha tenang. Doa, doa, doa.

Dokter Rianda datang, kalau nggak salah sekitar jam 6 pagi. Fresh baru mandi hihi... kami malah masih pada bau jigong. Dia nyapa ceria, "Heeii, kok malah mau ngelahirin sekarang? Katanya mau di Bandung?" Hahaha... iya, sehari sebelumnya, kami baru aja check up dan pamitan sama si dokter, mau ke Bandung minggu depan. "Anaknya pingin dilahirin sama dokter nih," kataku. Saat itu udah nggak mau mikir berapa biaya lahiran di Omni hahahaa... yang penting anak kami selamat aja. Dokter memasang USG di perutku.

"Masih banyak kok cairannya," kata si dokter menenangkan. Lalu dia menjelaskan, usia kehamilan 36 minggu ini rentan, sebetulnya seminggu lagi si baby boleh dilahirkan normal. Tapi di usia ini, dikhawatirkan kepalanya masih sangat lunak dan bahaya kalau kena trauma. "Saya nggak akan bisa pakai vacuum kalau ternyata kamu nggak kuat mengejan," kata si dokter. Mungkin dia kuatir karena aku punya asma. "Saya sarankan kamu caesar aja." Berpandangan sama si suami, kami pasrah dengan saran dokter. Kecewa dan sedih juga. Tapi ya daripada kenapa-kenapa. Lagian selama 7 bulan check ke dokter Rianda, kami merasa dokternya nggak madut kok; rasanya sih dia (mungkin) nggak manfaatin kesempatan yaa hihihi. Dokter lalu ngasih tahu prosedur selanjutnya. Aku akan dioperasi jam 12 siang. Sebelum itu, aku akan diinfus cairan penguat paru-paru buat si kecil. Sekarang obat anestesinya akan dites dulu ke jaringan kulit tanganku untuk ngecek apakah aku alergi. Dokter ga meriksa dalam, halleluya.

Setelah diskusi dengan Tim, dia balik dulu ke rumah buat bawa hal-hal yang mungkin diperlukan. To be honest saat itu aku ga bisa mikir perlu apa hahaha... Blank! Suster bilang baiknya sedia stagen yang velcro. Selanjutnya aku harus puasa, jadi dikasih kesempatan terakhir buat minum segelas teh manis. Ahhh ga kebayang harus puasa sampai setelah operasi! Kami ditanya punya DSA yang ditunjuk nggak. Nggak ada, kataku. Oke, pihak RS yang pilihkan. Katanya namanya dokter Ferdy. Aku juga dicukur 'di bawah sana' sama susternya dan diminta tanda tangan beberapa berkas untuk operasi.

Timeline selanjutnya aku agak lupa, yang kuingat hanya Tim kembali dari rumah (membawa laptop, bok) bareng adiknya dan dia udah check in kamar buatku nanti. Yiyi (adeknya mama) sama nenek dan adik nenekku juga datang, ngecek aku perlu apa aja, lalu pergi nyariin stagen. Trus temen baikku HM juga datang bareng suaminya, katanya giliran dia nemenin aku karena dulu aku nemenin dia lahiran dari bukaan 3 sampai lahiran hahaha. Kesetiakawanan kaya gini suka bikin haru. Apalagi saat itu aku nggak bisa ngapa-ngapain dan suami malah sibuk kerja dengan laptopnya, demi ngelarin kerjaan supaya besoknya bisa cuti. Kalau ngga ada si HM nemenin rumpi, mungkin aku terpaku sama kontraksi yang mulai mendera dan rasa lapar tegang. Kontraksinya masih oke lah, perut kaya kenceng ditarik tapi aku masih bisa ngobrol sambil ngatur napas.

Jam 11 lebih suster datang ngecek keadaanku (kontraksinya udah makin kuat dan sering) dan melihat hasil tes alergi (nampaknya sih aku ga alergi). Dan lagi-lagi aku diperiksa dalam, huaaa! Gatau buat apa. Ada lendir darahnya, kata susternya udah sekitar bukaan 2-3. Aku disiapkan buat operasi, kabel-kabel dilepas dan aku didorong keluar. Si suami masih berkutat dengan laptop, "Ntar gua nyusul ya Trid." Ebuset. Di ruang persiapan, bajuku dipretelin semua, cuma pakai baju operasi yang nutup depan doang itu. Ya Gustiii, malunyaa... tapi ya udahlah. Pas Tim nyusul, dia nggak diizinin masuk ruang operasi. Ternyata suami nggak dibolehin nemenin! WHAATT? Tadi kita lupa dong nanya dokter! Yah, mohon maklumi kebegoan kami yang sama sekali ga siap buat caesar. Kami kira biasanya suami diizinkan masuk karena teman-teman kami juga didampingi suami. Langsung dong aku mewek. Untung masih sempet pamitan dulu sama Si Tim bentar sebelum aku didorong pergi. Sekilas kulihat di pintu, mama dan adekku baru sampai dan melambai ngasih support. Udah nggak berani mikir nanti masih ketemu lagi apa kaga, sejak moment itu mah aku almost nonstop doa. Katanya di luar ruang operasi pun Tim berdoa bareng HM dan suaminya.

Operasi Caesar / Sectio Caesaria

Di ruang operasi, aku diangkat ke meja operasi. Risihnya bukan main! Itu bapak-bapak semua yang megang tubuh sucikuuu hahaha.... lagi-lagi nebelin muka aja deh. Dokter anestesi masuk, ternyata dokter Christian Johannes yang kemarin ngisi kelas senam hamilku! Dia juga masih ingat aku, jadi kuceritain kalo aku pecah ketuban dini. Dia menenangkan lalu memintaku duduk memeluk bantal. Nah ini dia. Yang kata orang-orang sakit banget. Tapi aku berusaha napas tenang aja sambil hipnotis diri "kuat, kuat, nggak apa-apa". Dokter Chris bilang, "Maaf ya, suntik sebentar, rileks aja, mungkin sakit dikit... yak, tahan napas" trus terasa cuss! Eh, kok nggak sakit-sakit amat? Hahahaa.... Entah karena dokternya lihai banget (secara dokter kepresidenan bok, yang ngasi epidural ke mantu-mantu SBY), entah akunya kebal saking tegang. Yang aku percaya banget mah aku dikuatkan sebagai anugerah Tuhan dan doa banyak orang karena aku orangnya nggak kuat sakit banget. Kalo sakit hati sih bisa tegar *loohhh*.

Selanjutnya tangan kiri kananku dipasung. Malah mikirin metode penyiksaan zaman barbar. Aku dipasangi segala selang (termasuk kateter tapi udah nggak kerasa karena efek anestesi). Terdengar suara alat detektor detak jantungku yang kalo di film-film suka berdenging dramatis 'biiiiiippp' tiap ada yang mati. Amit-amit. Kakiku mulai krenyet-krenyet kesemutan. Dokter Rianda masuk dengan riang. "Mana, bawa kamera atau handycam nggak?" tanyanya. Walah, nggak kepikir, dok hahaha. Untung dokter sigap, udah bawa pocket camera sendiri. Disuruhnya seorang (asistennya?) buat motretin. Operasi pun dimulai. *buru-buru doa lagi* Perutku dibelek. Kerasa ada sesuatu yang menggores perutku tapi nggak sakit. Settt... sett.... klentang klentong! Dokter dan para suster mengobrol pelan. Perutku digoyang-goyang. "Jam 12.27," kata si dokter. Lalu terdengar tangisan malaikat SUPER KENCENG.

My Baby

Deg-degan, kaya apa ya anakku... seorang suster membawakan eneng kecilku yang terhenti tangisnya, ditempelkan sebentar ke dadaku, difoto-foto. Aku nggak tahu gimana menggambarkan perasaanku. Kaya jatuh cinta, kali? Kaya ketemu pertama kali sama orang yang udah dicinta sejak dulu? Dengerin aja lagunya Savage Garden yang I Knew I Loved You. Gitu kali. Saat itu aku nggak nangis saking seneng (dan masih agak tegang) tapi tiap mengenang moment itu pasti mewek. Oh gini ya anakku. Bibirnya merah darah, kulitnya pink, matanya terpejam rapat. "Siapa namanya?" tanya para suster. Kujawab mantab dengan nama pilihan kami, Euis. *tentunya bukan nama sebenarnya* Sayang, dia harus dibawa untuk dibersihkan dan dicek DSA. Kami nggak IMD karena aku nggak ingat buat request ke dokter. Aku juga lupa minta delayed cord clamping.

Ketika si baby terlahir
Dokter terus bekerja sambil ngobrol dengan para suster, mungkin membersihkan sisa plasenta dan merapikan organ dalamku. Suster memuji, perkiraan berat badan anakku cuma meleset 50 gram dari prediksi dokter. Dokter prediksi 2,8 kg tapi lahirnya 2,75 kg. Belakangan kutau, dokter Rianda mengoleskan semacam gel supaya organ-organ dalamku nggak saling melekat. Emang sih mahal, tapi daripada usus nempel? Temanku ada lho yang ngalamin perlekatan organ dalam, gara-gara dokter lamanya ga rapi pas caesar anak pertama. Hiiiyy... ngeri ya. Sampai kata dokter barunya ketika mengoperasi caesar untuk anak berikutnya, 'ini mukjizat kamu bisa hamil lagi'. Kalau mau caesar, wanti-wanti dokternya supaya rapiin dengan bersih ya! Terdengar juga suara sedotan alat seperti vacuum cleaner, mungkin membersihkan sisa darah. Suara tangis si eneng terdengar lagi dari ruang sebelah, kenceeeng banget. WAAAAAK, WAAAAAKK! Kutanya, "Paru-parunya nggak masalah kan ya?" lalu salah seorang di situ menjawab, "Kalau nangisnya aja sekenceng itu, harusnya nggak ya, Bu." Hahaha... Amiiin!
36 weeks gestation; 2,750 grams; 49 cm
Setelah Operasi
Aku mulai menggigil akibat efek anestesi dan diberi obat supaya stop menggigilnya. Setelah dokter Rianda selesai, dia pamit dan bilang, "Nanti foto-fotonya saya email ya, minta alamat e-mail kamu aja di BBM." Iya, makasih banyak ya dok. Aku diselimuti dan didorong pergi. Sekilas kulihat troli penuh kain berdarah-darah, kaya film horor. Aku ditaruh di suatu ruangan kosong, kata masnya yang nganter sih 'untuk observasi sejam'. Beuh observasi apaan ah. Nggak ada siapa-siapa yang meng-'observasi'-ku kok. Palingan dokter Chris sempet ngecek bentar trus bilang bakal panggilin suamiku. Tapi agak lama lho sampai Tim datang, katanya abis nyariin aku sampe bingung karena nggak ketemu siapa-siapa, coba. Dia cerita, udah lihat si Euis tadi, cuma sempat pegang tangannya bentar. "Lucu ya anak kita," katanya. Mana ada ortu nggak bilang gitu ya hahaha... padahal saat itu idungnya penyek, matanya sipit, bibirnya manyun, tapi buat kami ya inilah bayi tercantik (^^). Nggak akan cukup rasa syukur kami kepada Tuhan buat anugerah terindah ini.

Aku nggak ingat akhirnya berapa lama aku ada di ruangan itu sampai akhirnya aku diizinkan buat masuk kamar inap di lantai atas. Kata Tim, keluarga kami udah pada nungguin di sana. Aku didorong ke lift sambil dikawal security; roda ranjang dorongnya rusak jadi aku terguncang-guncang. "Maaf Bu, ini ranjang yang rusak ternyata." Dalem hati: yeee, udah rusak masih dipake. Untung masih ngefek anestesinya. Kujawab aja, "Iya gujrak-gujrak kaya troli Carrefour ya, Pak." Baru kali ini ngerasain jadi belanjaan; mantri sama satpamnya cengar-cengir aja.

Di kamar udah ada mama, yiyi, nenek, adik nenekku, dan adek-adek kami. Katanya mereka udah lihat babyku tadi waktu dia diantar ke ruang baby. Mama langsung ciumin aku, ngasi selamat udah jadi ibu. Hihi selamat juga, mama jadi nenek sekarang. Suster bilang suhu tubuh neng Euis turun ke 35 derajat Celcius jadi harus dihangatkan dulu sebentar. Uhhh sebentar gimana. Untung keluargaku ada di situ mengisi waktu, akunya mah udah ga sabar pingin ketemu si eneng. Sesama ibu pasti kebayang rasanya, setelah sembilan delapan bulan selalu ngegembol harta karun lalu terpisah tuh... aaaaa! Aku pun belum berani makan dan minum karena belum dikasi instruksi lebih lanjut. Akhirnya kami nanya suster karena aku udah sangat haus. Susternya baru deh ngasih tahu bahwa aku sebetulnya udah langsung boleh minum sedikit-sedikit. Ihhh cape deh, kok ga bilang dari tadi. Room service mengantarkan bubur putih dan mama menyuapiku sedikit karena aku belum boleh bangun. Nggak enak, tawar banget. Aku cuma makan beberapa suap.

Sekitar jam 17.00, barulah si unyilku diantar masuk. Waktu itu masih banyak orang. Salahku lagi, mustinya langsung coba nyusuin walau anaknya lagi tidur. Tuh tidur pun dia ngenyot telunjuknya.

Mamanya HM pun sempat datang, tapi waktu kutanya mana sohibku itu, ternyata dia habis muntah-muntah dan lagi ke IGD. Ya ampuunnn... Akhirnya kami nggak sempat ketemu lagi hari itu karena mereka langsung pulang. Makasih ya HM, udah menemani walau lagi nggak sehat. Malah ternyata sempat ikut sibuk beli Aqua segala buat keluargaku.

Sobat-sobatku Bisma dan Melly juga langsung datang sore itu. Makasih ya kawan-kawan!
Yang cowo masih lajang. Muslim. 34 tahun. Cuek tapi baik. Berpenghasilan memadai, karir bagus. Sayang keluarga. Suka membaca dan musik. Mencari wanita yang dewasa dan mandiri. Please PM untuk mencomblangkan.
Room service datang mengambil sisa bubur. Kutunggu-tunggu makan malam yang tak kunjung diantarkan. Pas kami tanyakan, ternyata aku nggak dapat makan malam lagi hahaha... aku kan lapar... Buru-buru aku pesan makanan dari restoran rumah sakit. Tim makan di dekat-dekat situ sekalian membelikan Haagen Dazs kedoyanan bininya hihihi. Tau aja dia, aku udah ngidam banget es krim. Aku kan habis pantang es krim sejak usia kandungan sekitar 6 bulan karena pertambahan berat si eneng luar biasa dan aku takut si bayi terlalu gede untuk lahiran normal.

Menjelang malam, keluarga dan teman-teman kami pamit. Mama balik dulu ke Bandung karena aku baru keluar RS hari Selasa siang kalau kondisi kami bagus. Selasa pagi mama akan datang lagi sekalian bawa perlengkapan menginap buat bantu aku ngurus bayi. Malam ini just the three of us. 

Love at the first sight

Usaha Menyusui Pasca-Operasi Caesar

Aku masih belum boleh banyak bergerak walaupun aku sih merasa baik-baik aja dan nggak sakit. Ya linu-linu dikit lah, tapi ilang begitu liat si unyil unyu ini. Aku sempat mencoba menyusui tapi anaknya tidur nyenyak. Aku minta dikirimi konselor laktasi tapi nggak kunjung datang. Bodohnya aku, membiarkan si eneng tidur. Belakangan baru kutahu, anak prematur memang cenderung tidur terus dan harus dipaksa menyusu. Lha ini dibangunkan dengan cara apapun susaah...

Tengah malam, dia nangis heboh dan nggak bisa ditenangkan. Kucoba menyusui, tapi kok ga bisa latch on ya, ga nemplok. Putingku juga entah kenapa jadi cunglem, padahal semasa hamil tua udah mancung banget. Buat yang merasa vulgar, maaf ya, tapi pada kenyataannya banyak ibu bermasalah gini kok. Kupencet juga dadaku kempes dan nggak keluar apa-apa (mungkin sebenernya salah metode mencetnya juga sih). Tim juga berusaha menimang-nimang si eneng yang terus nangis gegoakan. Walaupun aku tahu bahwa bayi bisa survive 3 hari tanpa menyusu, kami nggak tega mendengarnya mewek.

Kami minta suster memberinya susu formula. Sebetulnya kami sempat minta kami saja yang menyuapi si eneng, tapi katanya SOP mereka tidak mengizinkan. Waktu kutanya, ternyata si kecil dikasi berapa banyak sufor, tebak? Yep, 40 cc! Dan paginya dikasih segitu lagi, tanpa nanya kami. Tahu kan ukuran lambung bayi baru lahir? Paling juga SATU SENDOK TEH! Dan ngasihnya pun pakai dot. Speechless. Kaya gini ngaku RS pro-ASI... tapi kami males ngomel lah.

Esok Harinya

Si bayi yang kekenyangan pun lanjut tidur nyenyak seharian. Boro-boro mau ngenyot nenen. Menolak emosi demi ASI biar segera keluar, aku berusaha postive thinking. Kami menyambut beberapa teman yang datang: Ci Amel dan Ko Bryan, Sisi, Donata, keluarga Widigdo. Aku sempat minta Tim membelikan nipple shield, ceritanya supaya putingnya mancung. Ya jelas gatot lah ya, mohon maklum masih bego. Dokter Rianda sempat datang ngecek kondisi jahitan dan melepas kateter. Suster membantuku belajar berdiri dan jalan. Gampaaang... *songong dulu* lagian aku emang udah nggak betah tiduran. Langsung aku minta mandi sendiri. Agak rempong sih dengan adanya infus ngegantel, tapi botol infusnya bisa digantungin di kaitan yang tersedia di kamar mandi dan digantung di leher sewaktu aku jalan, jadi nggak usah geret-geret tongkat infus kaya di sinetron.

Selama di rumah sakit, tidak sekalipun suster mengajari cara merawat bayi walaupun rumah sakit menerapkan sistem room-in. Mungkin diasumsikan ortunya udah pada jago aja kali ya, atau ada sanak saudara yang ngajarin. Kami sih ya nekad aja coba-coba sendiri. Ada kapas basah sama tisu di ranjang bayi, kami coba cebokin si bayi dan gantikan popoknya. Kami coba lepas pasang bedong tapi tentu masangnya nggak bisa sekencang bidan. Akhirnya kami biarkan bedong terlepas karena si kecil sering nangis kalau dipakaikan bedong. Aku berusaha membangunkan si eneng kecil, tapi dianya pulas. Saking semangat aku berusaha belajar menyusui, infusku sampai lepas kesenggol. Darah berceceran hahaa... Emang dasar nggak bisa diam. Aku beberapa kali minta dipinjami breastpump supaya bisa memancing ASI keluar, tapi nggak kunjung diberikan. Konselor laktasi juga nggak datang-datang.

Datangnya kapan, coba? Senin malam. Aku dan suami malah udah ketiduran bareng si eneng. Yowes, mari belajar menyusui. Suster merangkap konselor itu berusaha membangunkan si eneng lalu mengajariku ngatur posisi. Dia memencet payudaraku, "Tuh keluar kok Bu kolostrumnya." Oh iyaa... senangnya! Si eneng cuma ngenyot bentar lalu tidur lagi. Suster pamit.

Tengah malam si eneng membangunkan kami lagi dengan jeritannya. Kucoba menyusui kanan kiri, tapi dia tetap nangis. Tim membawanya buat ditimang-timang, tetap nangis. Akhirnya kami pasrahkan ke suster. Duh dasar ortu baru oon ya... napa nggak kucoba buat skin-to-skin aja ya. Di ruang bayi sudah tentu dia dikasih susu formula lagi.

Prosedur Kepulangan

Keesokan harinya, hari Selasa pagi, Mama sampai di Serpong. Mama sempat melihat waktu dokter Rianda mengganti plester jahitan. Katanya, "Oh jahitan sekarang mah rapi ya, cuma ngegaris aja." Kata dokter sekarang sistemnya dilem, jadi kulit sama kulit ditempel dan nggak perlu lepas jahitan. Lukaku belum sepenuhnya kering jadi nanti aku boleh lepas sendiri plesternya dalam 4 hari. Dokter menyarankan aku tetap bergerak seperti biasa dan boleh BANGET naik turun tangga (apalagi kamarku di lantai dua). Dia menjadwalkan kontrol dalam seminggu ke depan. Si eneng juga sudah dicek darah dan kami diberi kartunya. Sama dengan golongan darah papanya. Dia juga harus kontrol minggu depannya.

Tim ngurus administrasi dan pembayaran ke kasir di lantai 1. Lumayan lama, ada kali sejam. Aku, mama dan si eneng nunggu di kamar. Lupa ih buat minta gelang rumah sakit dan kertas yang tertempel di ranjang bayi, buat kenang-kenangan. Bahkan lupa foto sekeluarga hahaa... emang dasar ga narsis, suseee..

Sesampainya di rumah, kami langsung sibuk ngeberesin box bayi dan membongkar isi kulkas yang keburu nggak layak makan. Si eneng belum mau nyusu langsung dan produksi ASIku masih seret (kucoba mompa pakai tangan karena belum punya breastpump). Dia masih sempat minum 1-2 botol sufor lagi tapi kukasih cuma sekitar 25 cc aja dan pakai sendok supaya dia masih mau belajar ngenyot nenen. Pelan-pelan ASIku mulai terkumpul dan kami berikan pakai sendok karena anaknya suka menolak ngenyot nenen. Kalau kupaksa pun, paling ngenyot 2-3 menit aja terus tidur lagi. Damn, kena bingung puting nih kayanya, gara-gara dua hari pake dot di rumah sakit.

Selama 3 hari berikutnya, saya terus memompa ASI dan kami bergantian menyuapi si eneng dengan sendok. Minumnya cuma sedikit. Mama yang pertama menyadari, warna kulit si eneng makin kuning. Mama nyaranin buat percepat kontrol ke DSAnya.

Ketika usia si eneng 6 hari, kami bawa dia cek ke dokter. Betul aja, dokter juga melihat dia kuning. Langsung diminta cek darah. Ngiluuu sekali lihatnya, tumit kecil si eneng ditusuk sampai 3 ampul. Nangis jejeritannya nggak usah ditanya. Ibaa banget. Hasilnya keluar sejam kemudian. Betul, bilirubinnya 19,3. Si eneng harus disinar. *nangis*

Kisah fototerapinya bersambung ya.... *halah*


PS: belakangan baru kutahu, kalau ketuban udah pecah duluan tuh seharusnya nggak periksa dalam karena ada risiko bakteri masuk dan membahayakan bayi. Ihhhh, gimana sih susternya!

No comments:

Post a Comment