26 March 2015

Book Review: The Girl On The Train by Paula Hawkins



Image result for the girl on the train

Sesudah bulan lalu kelar baca Gone Girl-nya Gillian Flynn, aku jadi kepingin baca novel psychological thriller lagi. Paksu cariin deh di Amazon, lalu download-in di Kindle. Salah satu judul yang dia temukan: The Girl on The Train. Pengarangnya Paula Hawkins. Jujur belom pernah denger, soalnya walaupun aku kutu buku, aku cuma hapal pengarang mainstream alias yang sedunia tahu kaya JK Rowling, Dan Brown, Paulo Coelho, Enid Blyton gitu deh... *cupu* Novel TGOTT ini termasuk salah satu novel yang suka dibanding-bandingkan sama si Gone Girl.


Kesan pertama dari buku ini: ih, story-nya mulai sehari sebelom tanggal pernikahanku! Eh ga penting amat ya hihi...

Kesan berikutnya setelah membaca sekitar 5 chapter: Hmmm prospektif, belom menemukan sesuatu yang bikin aku males. Aku suka chapter-chapternya yang pendek, sangat cucok buat working mother sepertiku yang sering baca ngaclok-ngaclok sesempatnya di jalan menuju kantor atau rumah, jam makan siang, atau sambil nyusuin bocah. (Aku ga keburu menyelesaikan Game of Thrones kan gara-gara itu juga, begitu sempet baca dah lupa ceritanya sebelomnya gimana. Maklum lah ya hormon kehamilan yang bikin pikun itu masih nyisa lhoo sampe bulan ke-7 iniii...)

Ke belakangnya pun ceritanya semakin bikin aku terpikat (halah bahasanyaa) sampe agak susah stop, tapi apa boleh buat musti maen dulu lah sama anak, musti bikin report, dll dll. Untungnya pola penceritaannya simple walau timelinenya maju mundur. Jadi misalnya abis cerita yang bulan Juli, chapter berikut flashback ke awal tahun, lalu balik lagi ke Agustus, ehh flashback lagi, gitu terus. Tapinya si pengarang ga bikin ini ribet kok, ingatanku yang kaya Dory temen papanya Nemo ini pun masih sanggup ngikutin.

Penggunaan bahasa Inggrisnya pun sederhana, ga banyak kalimat majemuk nan belibetan. Nyantai lah bacanya, ga perlu bolak-balik mencet dictionary. Tapi kenapa ya aku berasa kurang dapet aksen Britishnya, padahal settingnya di Inggris. Aku bacanya tetep kaya English amiriki aja.
Pembentukan karakternya juga dapet. Kayanya pengarangnya manteb riset psikologinya. Aku suka cerita yang bisa ngasih perspektif dari berbagai tokohnya seperti di dunia nyata. Kaya punya temen yang nyebelin tapi tetep kita temenin, gitu. Nobody's perfect. Nggak ada pengantagonisan tokoh di novel ini, beda tipe dengan novel-novel Dan Brown yang jelas siapa penjahatnya (ya walaupun biasanya mastermindnya disembunyiin yaa). Nah kalo di novel ini kita dibikin nebak-nebak siapa sih penjahatnyaa... Etapiii... walau ga ada antagonisnya sampai akhir cerita, semua tokoh di novel ini....

Spoiler Alert for next paragraph including things I don't like from this novel.
NYEBELIN! Yes! Kaya ga ada positif-positifnya deh. Ngezelin semua, bikin orang ansos makin negative thinking sama masyarakat hahaha... Pokoknya pemikat dalam novel ini mah bukan karakter tokohnya lah.


Jadiii di novel ini tuh ada 3 narator, pake point of view orang pertama.
  • Narator utamanya adalah Rachel. Divorcee dan pemabok yang bitter, ga bisa move on, pembohong, suka lari dari kenyataan (kaya sapa hayoo), self-hater and self-destructive. Tapi apa yang dia alami sedikit demi sedikit terungkap dan cukup memancing rasa iba. Protagonis klise yang bloon-bloon polos mengibakan tapi mudah dimanipulasi. Dia pun menjadi satu-satunya tokoh yang ngalamin perkembangan karakter. Motivasi dia terlibat dalam kasus ini emang agak meragukan di tengah-tengah cerita (helooo, Jason is not real!) tapi awalnya kurasa dia butuh merasa diperlukan, butuh memiliki tujuan hidup. Ini hal yang everyone can relate to, I think.
  • Narator lain adalah Megan. Shallow, egois, tipe cewe yang sebetulnya rendah diri dan ga pernah puas jadi selalu harus dipuja banyak pria. Ga kapok bikin kesalahan. Hebat sih pengarangnya bisa gambarin dia dari first person point of view. Aku paling nggak bisa relate sama orang yang kaya gini. Ga ngerti Mbak, ga ngerti.
  • Narator ketiga adalah Anna. Si perebut suami. Rabid bunda. Gengges, perfeksionis, idealis. Tukang ngenyek, berasa paling oke dibanding semua orang. Egois. Tapi somehow aku agak bisa relate ke dia dalam hal protektif ke anak bayi dan keluarganya. Untungnya aku dapetinnya ga pake acara rebut-rebut suami orang lah yaw *hmppff*!
Aku suka cerita yang kaya gini karena as in reality, there are always two sides of a coin. Buat si Rachel, Anna tuh perebut suami. Tapi sebaliknya buat Anna, Rachel tuh orang yang nggak tahu berterima kasih ke suaminya. Rachel ga berniat buruk sama Anna tapi tindak tanduknya gampang disalahpahami (dan emang suka creepy juga sih).

Karakter lain yang muncul tapi bukan narator adalah Scott (suaminya Megan), Tom (mantan suami Rachel yang lalu jadi suaminya Anna), dan Kamal Abdic (terapisnya Megan). Ketiga tokoh sekunder ini juga menurutku nyebelin semua hahahaa... Tokoh-tokoh lain mah dari awal udah keliatan could be omitted.

Mencapai 60-70% baca novel ini, pelakunya udah ketebak. Ya iyalah, tokohnya itu-itu doang! Di sini udah mulai decline penilaianku sama buku ini; untungnya memang aku ga expect banyak. Cerita 'detektif-detektifan' gini kan standar lah ya, pelakunya pasti itu-itu lagi karena tokohnya terbatas, ga kaya di dunia nyata yang bisa aja pelakunya psikopat nyasar, misalnya. Makanya menurutku novel ini ga bisa dicompare ke Gone Girl (yang antagonisnya emang udah keluar duluan).

Endingnya... yah lumayan lah tensionnya sih dapet, cumaan... kok ya klise bener penjahatnya explaining him/herself at the end of the story (one thing that doesn't happen in Gone Girl and makes me like that novel). Terus kok penjahatnya ga lakukan final blow selagi bisaaa, malah santai-santai dulu minum bir? Begokkk!

Beberapa hal yang agak annoying tapi masih acceptable:
- Ini seriusan deh, kok tokoh primer dan sekundernya nyebelin semua? Mbok ya kasih lovable trait dikiiit aja selain wajah ganteng ato cantik. Yang pere pada egois, kecuali si Rachel tapi doi juga gengges (more on that later). Yang laki pada abusive dan narsis. Seriously, Ms Paula Hawkins, situ segitu sebelnya sama manusia?
- Gengges deh baca si Rachel yang selalu kabur dari kenyataan menggunakan alkohol lalu bangun pagi dan lupa apa yang dia lakukan; gitu terus diulang-ulang.
Iya sih emang plotnya butuh si Rachel untuk lupa terus-terusan sama apa yang dia alami, di situ suspensenya dibangun. Pembaca dibikin bertanya-tanya, apa sih yang diliat si Rachel di malam itu... Emang di sini trickynya novel-novel kaya gini, nyari excuse supaya tokohnya lupa hal-hal mengerikan yang dialaminya. Di novel Before I Go To Sleep malah tokohnya kaya di 50 First Dates, hilang ingatan tiap doi tidur. Errhhh...

Aku kurang sreg ngasi nilai buat hal-hal yang subjektif, jadi aku cuma bisa bilang: aku CUKUP SUKA novel ini sebagai pengisi waktu luang. Gampang dibaca walau gampang juga ditebak. Mayan lah daripada baca Harlequin hihihi.... Read it once more? Ummm... maybe not.

Next on the reading list: Big Little Lies by Liane Moriarty. Ihh.. nama pengarangnya ucuk, kaya penjahatnya Sherlock. Moga yang ini ga terlalu klise yaah...

No comments:

Post a Comment