31 March 2015

Trying to Conceive And Pregnancy Jealousy

I came from a family with history of infertility. Not my parents sih, tapi om tanteku. Beberapa teman baikku juga ada yang mengalaminya. Penyebab ketidaksuburannya macam-macam (sperma lemah, posisi rahim tidak kondusif, imunitas calon ibu terlalu tinggi sehingga 'membunuh' sperma yang masuk, hormon prolaktin terlalu tinggi) tapi kebanyakan sih nggak jelas penyebabnya. Untuk hamil, mereka butuh 3 sampai 12 tahun, bahkan ada juga yang sampai sekarang belum hamil. Beberapa sempat keguguran. Kondisi yang pastinya beraaaat banget buat mereka, apalagi melihat orang-orang di sekitarnya beranak pinak dengan mudahnya, apalagi yang pada embiei. No offense ya buat yang MBA; aku mah malah salut karena mereka mau mikul tanggung jawab dan menghadapi tantangan parenting dan berumah tangga (mostly) tanpa persiapan.

Begitu merid bulan Juli 2013, aku juga ngebet punya anak. Kami nggak melakukan tes kesuburan sebelum nikah; just go with the flow. Tapi setelah mencoba selama 3 bulan (I was jobless, staying at home, rest well and in good shape; we were also in 'honeymoon phase' so we were quite lovey dovey... Ok, too much information hahaha) dan tak kunjung hamil, muncul perasaan waswas. "Gimana kalo ternyata aku juga nggak subur? Gimana kalo kami ternyata emang nggak akan punya anak?" Suami kucecaaarr terus dengan pertanyaan-pertanyaan itu, padahal udah kami bahas semasa pacaran. Jawabannya udah clear buat kami: we were fine being together just the two of us; if one of us was infertile then it was fine; no we're not gonna adopt. Tapi kami beda pendapat dalam 1 hal: suami pingin jalanin aja hari demi hari karena dia mengimani bahwa Tuhan akan kasih kami anak pada waktunya, tapi aku pingin tes kesuburan karena penasaran pingin kepastian (emang suami orangnya lebih religius daripadaku sih; that's one of the reasons I marry him). Aku maunya tau pasti; kalau kami emang bermasalah ya udah berarti aku bisa berhenti berharap, kalau ga bermasalah ya udah tinggal dijalani. Namanya juga perempuan. Butuh kepastian. *uhuk* Akhirnya kami sepakat nunggu sampai 6 bulan usia pernikahan (yaitu bulan Januari 2014), baru cek ke dokter.

Selama sisa tahun 2013, aku mencoba positive thinking aja menjalani hari-hari.  Aku dan suami juga mencoba hidup sehat lahir batin.
- Aku kembali nyari pekerjaan (yang lokasi, sikon dan jam kerjanya kondusif buat working mother tentunya) and thank God I got it.
- Makan home-made food yang sehat. Pulang kantor, aku nyampe rumah jam 6, lanjut masak. No gorengan. Suami yang nggak doyan sayur pun kumasakin toge, terong, dan sayur-sayuran lain.
FYI, makanan yang katanya bisa bantu perempuan supaya cepet hamil: yang kaya asam folat (sayuran hijau, biji-bijian, kacang-kacangan, hati. Tapi konsumsi hati musti dibatasi begitu hamil beneran), kaya vit B6 untuk wanita dan B12 untuk pria (susu, telur, gandum, ikan laut), vit D (sereal, keju, jamur), zat besi (daging sapi, salmon, tahu, selai kacang, kismis), omega 3 (minyak ikan, olive oil, alpukat), dan banyak minum air putih. Beberapa makanan mengandung beberapa zat jadi nggak kusebut ulang yah.
Makanan yang baik buat calon ayah: terong ungu, tiram, pisang, pare, seledri, jahe, dan bawang putih. FYI lain: katanya mandi air dingin pun bagus lho hahaha... Lupa alasannya.
- Minum Prenagen Esensis buat sugesti hahahaha... Buat asupan asam folat juga sih ceritanya. Sama minum madu yang ada royal jellynya.
- Jalan kaki sebanyak yang dimungkinkan sewaktu berangkat ngantor.
- Berdoa, "Ya Tuhan, kiranya jika Kaurasa kami belum layak menerima titipan harta yang berharga dari-Mu, tolong layakkanlah kami. Ajari kami. Bimbing kami. Kami percaya Engkau yang sertai kami, Kau dengar doa kami. Kami yakin Kau akan berikan kami seorang anak pada waktu yang tepat, yaitu waktu-Mu."
- Ngitung masa ovulasi, bahkan sempet nyoba alat yang pake liur itu tapi kurang guna tuh.
Hanya saja, saking ngarepnya hamil, siklus menstruasiku malah jadi berantakan. Biasanya  28-29 hari, tapi begitu aku TTC (trying to conceive), bisa telat semingguan. Itu pun baru bisa keluar setelah aku pakai tespack dan liat hasil negatif hahaha...ternyata menstruasi tuh sangat terpengaruh kondisi psikologis ya. Kuakui ada momen-momen sentimentil setiap liat satu strip di testpackku. Kuciwa... cedih...

Image result for sensitif liur cek masa ovulasi
Ini lho alatnya. Menurutku dan sohibku mah, kurang guna yah hahaha...

Image result for sensitif liur cek masa ovulasi
Soalnya rasanya setiap hari hasilnya masa transisi mulu sih! Malesin jadinya ngecek eces tiap hari!


Desember tiba dan aku tetep belom hamil. Di situ aku malah merasa rileks. "It's okay," I thought, "bulan depan kami ke dokter." Aku jalan-jalan ke Bali buat nemenin suami mudik dan ke Singapore menghadiri nikahan temen deket. Main sama anaknya temanku yang masih toddler (yang entah kenapa sempat nemplok sama aku, padahal biasanya anak-anak ga segitunya ke aku). Tahun baruan di rumah temen bikin BBQ, ngebir dikit hihi.

Bulan Januari, mensku telat lagi. Kali ini feelingku bilang hamil. Nyoba pake testpack yang rada murah, strip 2 tapi samar. Deg-degan, beli lagi yang lebih sensitif. Bener strip 2! Ya Tuhan, aku hamiiil! What a great birthday and new year present! Kaya mimpi rasanya... Ternyata emang musti rileks kali yaa? Waswas juga sih pake sempet ngebir segala walau cuma beberapa teguk, puji Tuhan anakku gapapa.

Dari sudut pandang diriku kalo lagi inget masa-masa ngarep hamil, kira-kira gini pemikiranku kalau ada temen atau sodara hamil:
- Pas dikabarin soal kehamilannya, I'd immediately say, "Oooh, congratulations!!!"
Mungkin karena aku belom lama TTC, aku belom bitter. Tapi kuakui ada lho pemikiran "Damn, another one? Aku kapan dong yaa?"
Tapi kurasa semakin lama seorang perempuan menunggu datangnya anak, probability dia menjadi bitter tuh makin tinggi. Mungkin kalau mau ngasi tahu kehamilan, musti secara terpisah atau dengan hati-hati. But still, tell her. Kalo disembunyiin juga kan kesannya gimanaa gitu, mungkin malah bikin dia makin sedih.
Kami juga nggak bikin 'announcement' bahwa kami lagi expecting. Kami hanya inform via whatsapp aja, terutama supaya orang-orang terdekat kami yang juga lagi TTC bisa menerima kabar itu tanpa harus memaksakan senyum dan ngucapin selamat di depan kami, kasihan kan.
- Pas ada yang ngeluh mulu soal pregnancy symptoms-nya, aku mikir, "Jangan ngeluh deh! Banyak kali, perempuan yang siap gantiin lu sekarang juga!"
So no matter what, mending jangan ngeluh lah soal kehamilan di depan orang yang lagi TTC. Ngeluh aja sama yang udah jadi ibu, mereka pasti lebih simpatik pula karena pernah ngalamin.
Waktu aku hamil juga aku memang berusaha nggak ngeluh. Selain menjaga perasaan orang lain, aku juga pingin menikmati berkah Tuhan tersebut. Mual 8 bulan, sakit pinggang, dll ya kujalani aja, paling sambil bilang aja ke mama atau suami, "Eneg...pingin air jahe. Pegel...boleh tolong pijitin ga?" Manja dikit boleh lahh hihihi...

Walau hanya dalam intensitas yang minim, aku cukup kebayang perasaan perempuan yang lagi TTC dan disodori berita kehamilan orang lain secara berentetan. I know, I know, I didn't experience infertility and 6 months of waiting can be considered short, tapi sungguh aku kebayang kok. Ketika aku hamil dan melahirkan, aku cukup ngerti ketika beberapa orang tampak 'menghindar' dari kami. Aku pingin bilang sama mereka: "It's totally acceptable to be jealous when other women get pregnant and you don't, especially after you've tried everything. I hope you won't be bitter about it. And I sincerely wish you to experience healthy pregnancy and joyful parenthood, as you deserve."

Semoga kehamilan nggak membuat kita kehilangan relationship lain yang berharga dengan perempuan-perempuan terpenting dalam hidup kita yaa. Semoga di balik euforia kebahagiaan kita, kita masih bisa hati-hati ngejaga perasaan mereka. Dan semogaaaa semua perempuan yang sedang berusaha untuk hamil (atau memiliki anak) pun dikabulkan doanya!

No comments:

Post a Comment