14 July 2015

Perasaan Ibu yang Tidak Pernah 'Melahirkan'

Pernah ketemu orang yang pro-lahiran-normal-garis-keras? Yang bilang kalo lahiran caesar mah nggak ngalamin berkah jadi ibu? Yang ngerasa kalau ibu yang nggak ngalamin sakitnya kontraksi dan melahirkan tuh belom jadi perempuan seutuhnya? Yang berpendapat bahwa menjalani operasi caesar nggak bisa disebut 'melahirkan'? Beberapa dari mereka, jika perempuan, biasanya telah melahirkan normal dan memandang rendah perempuan yang menjalani caesar. Orang-orang kaya gitu eksis lho dan paling 'keras' beropini, tentunya, di sosmed. 

Kalau suka browsing situs-situs dan blogs kehamilan & parenting tuh pasti pernah ketemu sama mereka. Mereka ada di seluruh dunia, bahkan di negara-negara Barat. Waktu saya hamil dan gila-gilaan browsing sepanjang hari (akibat mual tak terhingga sehingga nggak bisa bergerak dari tempat tidur), saya membaca beberapa komentar semacam itu. Sedih bacanya, tapi saya sendiri berencana melahirkan secara normal, jadi tidak terlalu saya masukkan ke hati.

Di luar rencana, ketuban saya pecah dini di usia kandungan 36 minggu dan dokter menyarankan untuk tidak melahirkan normal karena kemungkinan kepala si baby masih terlalu lunak dan belum siap melalui jalan lahir, ataupun mengalami vacuum jika saya tidak kuat mengejan. Plashh! Rasanya kaya air dingin disiram ke kepala waktu saya dengar kata-kata dokter. Buyar deh impian. Bahkan agak nyalahin diri sendiri, kenapa sok-sokan rajin senam hamil, berenang, dan jalan kaki; saya menyalahkan diri seolah penyebab ketuban pecah adalah karena kecapean (padahal dokter nggak pernah bilang gitu). Malah dokter sebetulnya bilang ada kemungkinan karena genetis (saya dan tante saya juga lahir prematur).

Sejak itu, saya nggak pernah menyebut kejadian (yang seharusnya menjadi kenangan indah) itu sebagai 'saat saya melahirkan'. Saya selalu bilangnya 'waktu si unyil lahir' atau 'waktu lahiran' karena ternyata, saat saya membaca opini-opini keras tentang operasi caesar, opini-opini itu menyusup masuk ke batin saya. Saya merasa nggak sempurna jadi ibu, apalagi ternyata recovery caesar saya sangat mudah dan lancar. Saya ingat beberapa komentar orang bahwa jadi ibu itu harus menyakitkan, baru berpahala. Lah saya mah nggak terlalu kesakitan, linu-linu biasa aja. Setelah lewat hari kedua, bergerak pun normal. Di satu sisi, saya sangat mensyukuri kondisi fisik saya yang minim trauma itu. Di sisi lain, ada perasaan bahwa saya belum jadi ibu sepenuhnya. However, demi si kecil, saya menolak untuk memikirkannya terlalu jauh, apalagi sampai stress dan baby blues.

Perasaan itu nggak hilang bahkan sampai umur si kecil hampir setahun. Kalau ketemu teman yang melahirkan normal, saya merasa rendah diri. Tapi saya nggak menceritakan kekecewaan saya itu ke siapapun, saya pendaam aja sampai suatu kesempatan ketika saya lagi ngobrol santai sama mama saya. Casually saya bilang, "Ah si eneng kan lahir sendiri Ma. Yah, dilahirin dokter lah. Aku mah nggak pernah ngelahirin." Mama langsung ngomel; katanya, "Jangan bilang gitu, kamu yang hamil ya kamu yang ngelahirin. Sama aja lewat operasi atau normal juga." Lalu mama cerita bahwa diam-diam, semasa saya hamil, mama sangat kuatir karena saya ingin melahirkan secara normal. Mama tahu kondisi saya yang letoy alias lemes (walaupun berbadan stereg) dan asma saya. Mama juga sudah mengalami melahirkan normal dan diam-diam berharap anaknya melahirkan via caesar saja.

Saya seketika mengerti. Saya juga punya kekuatiran yang sama buat si kecil ('duh, nanti dia gimana kalau melahirkan? Sekarang kalau pupup aja suka nangis jerit-jerit gitu' hahahaa absurd yah). Tapi ya begitulah perasaan seorang ibu buat anak perempuannya. Berdoa bahwa dia kuat, tapi sebetulnya ingin anak perempuannya jangan pernah mengalami rasa sakit. Mama dan saya tahu bahwa perempuan sudah dikodratkan untuk melahirkan, tapi tetap ada sedikit perasaan ingin anak perempuan kami dibebaskan dari sakit melahirkan. Yah kalau secara agama, akan selalu ada perdebatan kodrat alam dll dll, tapi saya pribadi percaya bahwa Tuhanlah yang mengizinkan perkembangan teknologi kedokteran untuk manusia. Saat itu juga saya semakin yakin, bahwa recovery saya yang mudah dan cepat itu adalah jawaban Tuhan buat doa seorang ibu. Doa mama saya.

Di luar itu, mama bilang, saya melahirkan lewat caesar karena anjuran medis. Bahkan saya sendiri dan paksu pernah memutuskan, ketika membuat birth plan, bahwa kami memilih caesar daripada induksi. Jadi ya sudahlah, relakan. Saya melahirkan lewat operasi caesar, bukan berarti saya adalah ibu setengah jadi atau ibu yang gagal. I've done my best for my baby and will always do.

Di sebuah blog milik ibu yang melahirkan secara VBAC (vaginal birth after caesarean), si ibu bercerita bahwa beberapa keraguan tentang dua proses melahirkan yang sudah dia alami hampir selalu menghantui. Di kelahiran pertama, dia diinduksi, gagal melahirkan secara normal, dan harus dioperasi caesar. Kegagalan itu terus menghantuinya, bahkan ketika di kelahiran kedua dia berhasil melakukan VBAC. Dia harus mengalami episiotomi (pengguntingan perineum) ketika VBAC dan hal itu pun sempat menghantui dia.

Kesimpulan saya: sering kali kita terbrainwash jadi 'mengagungkan' normal birth, gentle birth, calm birth, dll di mana proses kelahiran tidak boleh diinterupsi. Ini adalah pola pikir yang seringkali akhirnya menimbulkan perasaan bersalah dan kekecewaan terhadap diri sendiri buat para ibu yang nggak berhasil mengalaminya. Beberapa bidan dan doula pun mengakui bahwa ada saatnya interupsi itu diperlukan demi keselamatan ibu dan bayinya.

Jika Anda yang membaca ini adalah salah seorang yang beropini keras alias idealis bahwa 'melahirkan' itu harus secara normal, semoga setidaknya Anda ikhlas untuk menahan diri dalam mengutarakan opini Anda itu ke publik. Mohon sadarilah, bahwa ucapan Anda (yang mungkin bermaksud baik untuk memberi support dan semangat bagi seorang bumil agar mau melahirkan secara normal) mungkin berakibat terbalik dan menyiksa perasaan ibu-ibu lain yang merasa gagal menjadi ibu yang seutuhnya. Mohon juga sadari, bahwa operasi caesar bukan 'cara mudah' melahirkan. Si ibu tetap menanggung rasa takut, risiko medis (Hey, teman saya mengalami perlekatan organ dalam akibat dokter kurang telaten membersihkan dan merapikannya sewaktu operasi. Perlekatan itu sebetulnya menyulitkan untuk hamil lagi. Dokternya bilang, mukjizat dia bisa hamil lagi.), dan rasa sakit yang tak terhingga pada beberapa orang.

Jika Anda kebetulan mengalami cito caesarean dan merasa seperti yang saya alami, semoga Anda lekas bisa move on ya... Bukannya perasaan kecewa itu nggak valid sih. Valid banget. Tapi mari kita coba ikhlaskan proses itu dan terima bahwa proses tersebut 'sudah ditentukan dari sananya', sudah kehendak Tuhan, sudah seharusnya terjadi demi keselamatan Anda dan si bayi. Yang terpenting sekarang adalah mengurus diri dan si bayi sebaik mungkin, saya yakin itulah cara sebenarnya buat jadi ibu sejati (bukan dengan melahirkan normal saja). Jangan sampai perasaan kita terbawa oleh trauma proses kelahiran, apalagi sampai stress, baby blues, atau post-natal depression. Kasihan juga si babynya.

Jika ada orang terdekat Anda ngalamin kekecewaan akibat harus menjalani operasi caesar, sebetulnya nggak perlu mengatakan (sorry yaa) hal-hal klise seperti 'bersyukur aja, kan kamu baik-baik aja' (no, she's not fine) dan 'kan yang penting bayi kamu sehat' (she knows it too and being grateful for it kok) karena kata-kata kaya gitu bikin seolah perasaan kecewa kami nggak valid. Bahkan bikin kami terkesan lebay. Hey, hormon ibu selama dan sesudah kehamilan tuh bergejolak, we have every right to be 'lebay' alias emosionil. Kami mengalami kekecewaan ketika ekspektasi kami nggak terpenuhi, tolong dengarkan curhat kami tanpa judging dan 'jumping to conclusion' bahwa in the end ibu dan anak baik-baik saja. We KNOW that, tapi perasaan kami tidak bisa semudah itu dihilangkan. Jangan men-dismiss perasaan kami seolah itu nggak penting. Apalagi bilang, 'duh gitu aja trauma, tuh yang lahirannya berbahaya sampai ibu anak musti transfusi darah dan sejenisnya baru wajar kalau trauma'. Wah ga berperasaan banget. Biarkan si ibu menangis ketika dia pingin nangis. Bilang saja bahwa wajar si ibu sedih dan kecewa, ajak dia mencoba cari support dari ibu-ibu lain yang mengalaminya (try birth club atau google, baca-baca pengalaman ibu-ibu lain). Denger pengalaman orang lain suka membantu saya, bikin nggak ngerasa sendirian. Dukung si ibu, ingatkan bahwa kalian sangat bahagia dia sudah MELAHIRKAN si kecil yang lucu dengan selamat, bahwa kalian bahagia dengan kehadiran si kecil di hidup kalian. Kasih pujian atas usahanya menjadi ibu yang baik (misalnya ketika dia begadang nemenin bayi mewek, nahan sakit menyusui, dll). Tanya bagaimana kalian bisa membantu si ibu supaya merasa lebih baik. Baru terakhir ingatkan bahwa si kecil akan lebih bahagia kalau ibunya juga bahagia. Perlahan dia akan move on.

Semoga kita bisa menghormati proses melahirkan semua orang, dengan metode apapun itu baik yang normal, dengan epidural, ataupun operasi caesar. Untuk para bumil dan suami, ingat bahwa kita nggak perlu terpaku sama birth plan. Go with the flow, dan semoga kelahiran si kecil menjadi memory indah selamanya.

No comments:

Post a Comment